Cahaya Hati: Berbicara Baik (status FB yang baik)

Siang tadi, saya menerima sebuah SMS dari seseorang:
"Hati dan otak bawah sadar adalah pusat kendali langkah, gerak-gerik, dan sikap kita. Isilah ia dengan hal-hal positif."

Entahlah, tema Cahaya Hati malam ini terasa sangat selaras dengan pesan tersebut.
Pembicaraan malam ini membahas tentang bagaimana berbicara yang baik.
Semoga intisari ceramah Ustaz Abdullah Gymnastiar ini tidak hilang sedikit pun dalam catatan ringkas ini.
Kami semua berlindung dari niat yang salah, dari ucapan yang keliru, dan hanya Allah-lah yang Maha Menuntun.
Aamiin.

Seperti kita ketahui, berbicara itu mudah.
Yang berat adalah mempertanggungjawabkan isi pembicaraannya.

Mulut seseorang itu seperti mulut teko.
Apa yang keluar dari teko akan mengungkapkan seluruh isi di dalamnya.
Isi teh keluar teh, isi kopi keluar kopi, isi madu keluar madu, isi racun keluar racun.
Begitu pula dengan ucapan:
Jika hati dipenuhi kebencian, maka keluar kata-kata kebencian.
Jika hati dipenuhi kesenangan, maka keluar kata-kata penuh keceriaan.
Jika hati dipenuhi kesombongan, maka keluar kata-kata angkuh—meskipun tampaknya rendah hati.
Singkatnya, lisan kita adalah cerminan dari isi hati kita.

Para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah SAW:
"Apa yang bisa membuat kami selamat di dunia dan akhirat?"
Rasulullah menjawab:
"Barangsiapa yang bisa menjaga antara dua rahangnya (mulut) dan dua kakinya (kemaluan), maka ia akan menjadi ahli surga."

Semakin banyak berbicara, semakin besar peluang tergelincir lidah.
Semakin banyak peluang menabung dosa.
Semakin banyak dosa, semakin besar pula risiko celaka di dunia dan akhirat.

Berbicara baik bukanlah soal banyaknya kosakata, indahnya intonasi, atau kemampuan merangkai puisi.
Dalam Islam, prinsipnya sederhana:
Fal-yaqul khairan au liyasmut — berkata baik dan benar, atau diam.

Setiap ucapan harus lahir dari hati.
Karena jika ucapan berbeda dengan perbuatan, atau pembicaraan tidak selaras dengan isi hati, maka itu adalah bentuk kemunafikan.
Bicara indah tapi hati busuk—munafik.
Bicara baik tapi perilaku bertentangan—munafik.

Allah Maha Mendengar.
Tak ada rekayasa kata-kata yang bisa menipu-Nya.
Malaikat mencatat.
Setiap perkataan akan kembali kepada si pembicara.

Jika kita dihina, itu tidak berbahaya.
Penghinaan akan kembali kepada yang menghina.
Yang paling berbahaya adalah saat kita membalas dengan menghina.

Tak perlulah kita sibuk memperindah lidah.
Tak usahlah kita repot merangkai kosakata yang mempesona.
Sibuklah membersihkan hati, agar ucapan, perbuatan, dan isi hati kita selaras.
Insya Allah, dari sanalah akan lahir sesuatu yang bernama ketulusan.

Komunikasi yang tulus akan menyambung dengan siapa pun—termasuk komunikasi dengan Allah SWT.

Wallahu a'lam.