Ketika Spiderman Disogok
Rasanya akan zalim, bahkan tidak beriman, jika kita mampu tetapi tidak mau membantu.
Lebih baik salah tetapi lantang, daripada benar tetapi diam.
Kesalahan yang diucapkan dengan lantang masih mungkin dikoreksi, sedangkan kebenaran yang disimpan dalam diam tidak akan memberi perubahan apa pun.
Terlebih saat kita tahu kapasitas diri untuk mengeksekusi persoalan, tetapi memilih cuek.
Itu tidak jauh berbeda dengan kelemahan.
Di lingkungan kita, misalnya ada korupsi, bukan berarti kita harus diam karena merasa tidak mampu.
Islam mengajarkan tahapan-tahapan saat melihat kemungkaran:
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya.
Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya.
Jika tidak bisa juga, ubahlah dengan hatinya.
Itulah iman yang paling lemah.”
(HR Muslim)
Kemungkaran bermakna merusak, merugikan, membuat bobrok, atau menganiaya.
Ambil contoh: korupsi.
Apakah korupsi termasuk kemungkaran?
Lihat dampaknya:
Apakah ada yang dirugikan?
Apakah ada yang dirusak—baik moral maupun benda?
Apakah ada yang merasa teraniaya?
Saya tidak akan menjelaskan panjang lebar karena saya yakin semua orang—termasuk mereka yang saya sebut Miskin Goblok dan Idiot Tak Berakhlak (MGI-TB)—pun tahu saat mereka hendak memilih pemimpin.
Alasan yang keluar dari mulut mereka:
“Tolong jangan korupsi.”
Saya anggap semua tahu.
Makna korupsi yang mereka pahami tidak jauh berbeda dengan makna korupsi yang ada di benak para MGI-TB tadi.
Kembali ke tahapan yang Islam tawarkan:
Langkah pertama, jika mampu, ubahlah dengan tangan.
Baik secara hakiki maupun majazi.
Secara hakiki: tangan sebagai organ fisik—menampar, memindahkan, menunjuk, dan sebagainya.
Secara majazi: tangan sebagai simbol kekuasaan—jabatan, harta, atau keilmuan.
Gunakan tangan untuk menghakimi, memutuskan, membetulkan, mengajak.
Terserah bentuknya, gunakan tangan kalian.
Langkah kedua, jika tidak mampu menggunakan tangan, gunakan lisan.
Bertanya, memberi solusi, menyampaikan mana yang benar dan mana yang keliru, mana yang manfaat dan mana yang mudarat, mana yang hak dan mana yang batil.
Gunakan pilihan ini saat tangan (kekuasaan) tidak bisa digunakan.
Langkah ketiga, jika tidak mampu dengan tangan dan tidak berani dengan lisan, Islam masih memberi ruang: ubah dengan hati.
Namun, dampaknya sangat kecil.
Pengaruhnya terhadap perubahan hampir tidak ada.
Nabi menyebutnya sebagai bentuk iman yang paling lemah.
Seperti apa mengubah dengan hati?
Tidak setuju terhadap kemungkaran, menunjukkan sikap tidak suka, atau bersikap cuek sebagai bentuk protes.
Namun, semua itu tidak jauh berbeda dengan diam membisu.
Dan yang saya khawatirkan: kita merasa berada di tahapan ketiga, padahal lebih buruk dari itu.
Tidak beriman, tidak ingin memberi kemaslahatan, dan tak jauh beda dengan pelaku kemungkaran itu sendiri.
Oh, sungguh panjang pembukaan catatan ini.
Saya menulisnya segera setelah melihat kerusakan—baca: kelicikan dan kemungkaran—di sebuah kampung di kota Garut.
Kampung yang sampai detik ini tidak jelas bagaimana eksistensi pemerintahannya (semoga saya salah).
Makin bobrok saat sebagian warganya gemar memupuk kemungkaran: korupsi, kolusi, dan kelicikan demi kepentingan pribadi.
Contoh:
Dalam pemerintahan yang sudah disepakati dan diidamkan, ada pasukan andir yang bertugas membantu warga mendapatkan air.
Kini, para “pahlawan” andir itu justru mengecewakan banyak peminatnya.
Bayangkan jika jagoanmu berpihak pada musuhmu.
Bayangkan jika pahlawanmu bersekutu dengan setan.
Bayangkan jika Spiderman hanya menolong warga yang berani membayar.
Bayangkan saat ada orang yang membutuhkan, tetapi ditolak karena alasan:
“Bayaranmu kurang.”
Pahlawan kampung itu sudah seperti itu.
Dan sebagian warga yang saya beri gelar MGI-TB makin menjadi karena tidak ada yang berani mengoreksi atau menyayangkan perbuatan pasukan andir tersebut.
Kalau pasukan andirnya goblok, itu sudah jelas.
Tak perlu dibahas lagi.
Saat mereka mencari air hanya untuk pihak yang membayar, pertama: mereka sudah menganiaya warga lain.
Kedua: mereka tidak memperhatikan makhluk Allah lainnya—tanah tandus, tanaman yang haus, binatang yang terkulai.
Bukankah kita diperintahkan menyayangi semua makhluk Allah?
Ah, makin meluas saja catatan ini.
Tentu tidak akan selesai dengan urusan-urusan ukhrawi semata.
Baiklah, akhirnya...
Gara-gara Kapelong Ku Mata Sorangan (terlihat oleh mata kepala sendiri), saya menulis catatan singkat ini.
– Fungsi andir akan jauh lebih terasa saat musim kemarau seperti ini, bukan musim hujan –