Ketika Spiderman Disogok
September 10, 2012
Posted by
yogaptek
| Waktu baca:
Rasanya akan zalim dan bahkan tidak beriman kalau seandainya kita mampu tetapi tidak mau membantu. Lebih baik salah tetapi lantang, daripada benar tetapi diam. Salah tetapi lantang besar kemungkinan akan dikoreksi daripada benar tetapi diam, sama sekali tidak akan memberi perubahan.
Terlebih saat tahu kapasitas kita untuk mengeksekusi tiap-tiap persoalan akan tetapi cuek dengan masalah tersebut. Tentu tidak jauh berbeda dengan orang lemah tersebut. Di lingkungan ada korupsi misalkan, bukan tetap diam karena merasa tidak mampu. Ada tahapan-tahapan yang Islam ajarkan saat kita melihat kemungkaran:
"Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak bisa melakukannya dengan tangannya, hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya. Jika tidak bisa melakukannya dengan lisannya, hendaklah ia melakukan dengan hatinya. Itulah iman yang paling lemah." (Diriwayatkan Muslim)
Kemungkaran bermakna merusak, merugikan, membuat bobrok, ataupun menganiaya. Kita ambil contoh, korupsi. Apakah korupsi suatu bentuk kemungkaran? Coba tengok dampak dari korupsi tersebut. Apakah ada yang dirugikan? Apakah ada yang dirusak? (baik moral ataupun benda monumental), apakah ada yang merasa teraniaya? Saya tidak akan menjelaskan lebih lanjut karena saya yakin semua orang - termasuk orang Miskin Gobl*k, ataupun orang Idi*t Tak Berakhlak (MGI-TB) - pun tahu saat mereka hendak memilih pemerintah (pemimpin). Alasan yang keluar dari mulut mereka, yakni TOLONG JANGAN KORUPSI. Saya anggap semuanya tahu. Makna korupsi yang kalian tahu tidak jauh berbeda dengan makna korupsi yang ada di benak para MGI-TB tadi.
Kembali ke atas, cara-cara yang Islam tawarkan saat melihat kemungkaran sungguh berdampak baik untuk kemaslahatan umat. BUKAN UNTUK MENAMBAH PENDERITAAN UMAT. Pertama ketika melihat kemungkaran atau ketidakadilan kalau kalian mampu, gunakan tangan kalian. Baik secara hakiki ataupun majazi, keduanya sama. Secara hakiki, gunakan (organ) tangan kalian, misalkan lakukan apa yang bisa dirubah dengan tangan kalian (perilaku organ tangan: Menampar, memukul, mencubit, memindahkan, menunjuk, dll.) Secara majazi, tangan dalam artian lain, misalkan kekuasaan (harta ataupun tahta), kalian bisa disebut punya tangan lebih ketika kalian punya jabatan, misalkan memimpin ataupun mampu dari segi keilmuan atau harta. Pergunakan tangan kalian. (Perilaku tangan seperti ini: menghakimi, memutuskan, membetulkan, mengajak, dll.) Jelas sudah, terserah mau yang mana, gunakan tangan kalian!.
Cara kedua ketika takut untuk berkelahi, ketika takut diadili massa karena kekuasaan yang ia dapat sudah dikendalikan warga, singkatnya ia mandul untuk berbuat dengan tangannya, Islam menawarkan pilihan selanjutnya: dengan lisannya. Coba bertanya ada apa ini? Ko bisa gini? Kenapa berbuat gitu? Tentu dengan ucapan-ucapan yang memberikan solusi. Mencoba memberitahukan mana yang benar dan mana yang keliru, mana yang manfaat dan mana yang madharat, mana yang haq dan mana yang batil! Coba pakai pilihan ini saat kalian sudah tidak mampu berbuat dengan tangan (kekuasaan) kalian.
Tak bisa dengan tangan, tak berani dengan lisan, Islam masih ingin menyelamatkan penganutnya dengan cara yang terakhir, tentu pilihan ketiga ini berbeda dengan dua cara sebelumnya. Beda usaha, berbeda pula dampaknya. Dampak dari cara yang ketiga ini sangatlah kecil, pengaruhnya kecil terhadap perubahan yang diinginkan. Bahkan, nabi menyebutnya sebagai golongan yang lemah imannya, saat apa? Yakni saat tidak menggunakan tangan ataupun lisannya, tetapi hatinya. Seperti apa merubah kemungkaran dengan hatinya? Tidak setuju dengan kemungkaran tersebut termasuk dari cara merubah dengan hati, menunjukkan perilaku tidak suka akan orang-orang yang berbuat kemungkaran, cuek sebagai bentuk protes akan kemungkaran tersebut, pantas disebut lemah imannya, karena semua yang dilakukan dengan hatinya tidak jauh berbeda dengan diam membisu. Dan yang saya khawatirkan, takutnya kita merasa berada di tahapan ketiga, padahal kita tidak berada di tahapan itu. Maksudnya, lebih buruk dari tahapan yang ketiga, TIDAK BERIMAN, TIDAK INGIN MEMBUAT KEMASLAHATAN PADA UMAT, TAK JAUH BEDA DENGAN ORANG YANG MELAKUKAN KEMUNGKARAN TERSEBUT.
Oh sungguh panjang pembukaan pada note ini. Saya menulis catatan ini segera setelah melihat kerusakan (baca: kelicikan/kemungkaran) di kampung yang terletak di kota Garut. Kampung yang sampai detik ini tidak jelas eksistensi pemerintahannya seperti apa dan bagaimana (semoga saya salah dan pastinya salah), makin bobrok saat sebagian warganya gemar memupuk kemungkaran (korupsi, kolusi, ataupun licik demi kepentingan pribadi). CONTOH!: Dalam pemerintahan yang sudah disepakati, dipilih dan diidam-idamkan dari adanya pasukan andir untuk membantu warganya mendapatkan air, kini para 'pahlawan' andir telah mengecewakan banyak peminatnya. Bayangkan ketika jagoanmu sudah berpihak kepada musuhmu? bayangkan ketika pahlawanmu bersekutu dengan setan? Bayangkan ketika Spiderman hanya menolong sebagian warganya yang berani membayarnya? Bayangkan saat ada orang yang membutuhkan tetapi tidak bisa karena alasan: BAYARANMU KURANG?!
Pahlawan kampung di atas sudah seperti itu, dan sebagian warga yang sudah saya semangatkan gelarnya MGI-TB, makin menjadi karena sebagian dari mereka tidak beriman. Artinya tidak ada yang berani mengoreksi ataupun setidaknya menyayangkan perbuatan pasukan andir tersebut. Jelas kalau pasukan andirnya gobl*k, itu sudah jelas. Tak perlu dibicarakan lagi. Saat mereka mencari air demi pihak yang membayar mereka, pertama mereka sudah menganiaya warga yang lainnya, dan kedua mereka tidak memperhatikan makhluk Allah yang lainnya (misal tanah tandus, tanaman yang haus, binatang yang terkulai), Bukankah kita harus menyayangi semua makhluk Allah??. Ah, makin meluas saja catatan ini. Tentu tidak akan mempan dengan urusan-urusan ukhrowi. Baik, akhirnya gara-gara Kapelong Ku Mata Sorangan (terlihat sama mata kepala sendiri), saya menulis catatan singkat ini.
-Fungsi andir akan jauh lebih terasa saat musim kemarau seperti ini, bukan musim hujan!-
Blog Hikmah