Rahasia Pasar Tradisional
September 10, 2012
Posted by
yogaptek
| Waktu baca:
Pagi-pagi sekali,
saya sudah berada di pasar tradisional Ciawitali, Garut. Sesuai dengan
namanya, Tradisional, semuanya belum tersentuh polesan modernisasi,
tentu dalam tatanan pasar dan jual belinya, bukan para pelaku jual
belinya. Di sana, pengunjung tidak akan menemukan kerapihan, semuanya serba
tumpah ruah ke ruang yang masih bisa diisi asal tidak mengganggu pihak
lain. Pun halnya dengan masalah kebersihan. Kualitas kebersihan di pasar
tradisional mungkin mendapatkan poin 0 dari 10 poin. Sangat kotor.
Sampah berserekan di mana-mana dan posisi parkir sangatlah tidak menentu. Asalkan tidak mengganggu.
Saya berdiri lama di depan tukang tempe dan sebelah kiri saya tukang daging ayam yang hampir 15 menit sekali terdengar suara pisau jagalnya beradu dengan alas kayu. Sangat berirama. Layaknya seorang intel dengan kabel headset menggantung di satu kuping, saya melihat sebagian suasana pasar Ciawitali dengan saksama. Oya, sedang apa saya di sini? Saya 'tersesat'. Tertinggal sang induk yang sudah masuk ke dalam belantara pasar di saat saya mencari tempat untuk menyimpan motor. Akhirnya, di sinilah sekarang saya berdiri.
Semuanya sibuk. Maksud saya, semuanya mempunyai pekerjaan. Dari ratusan pelaku transaksi, ada yang menarik perhatian saya. Dia dari kejauhan menggendong jamu, menawarkan jamu dan menebarkan senyuman, sesekali menuangkan jamu tanpa disuruh dan memberikannya kepada mereka yang sudah berstatus sebagai pelanggan setia. Penjual jamu ini memang berbeda dari yang lainnya. Dia masih muda, cantik dan sopan. Dia menggendong jamu kemana-mana dengan setelan sangat islami; kerudung panjang, baju lengan panjang, memakai rok jeans panjang motif bunga-bunga, dan tak lupa memakai kaos kaki, sungguh anggun. Satu hal yang bisa diambil dari gadis (baca: akhwat) jamu gendong ini adalah dia berani mengubah stereotip para penjual jamu yang mayoritas seksi dan genit menjadi sopan dan bersahaja. Tak lama, dia pun berlalu entah kemana...
Akhirnya saya mencoba masuk ke dalam belantara pasar, memberanikan diri mencari sang induk. Setelah berkeliling melewati bermacam dagangan, menyusuri beceknya pasar yang sanitasi airnya tak jelas alurnya, dan setelah mencium berjuta bau khas pasar, akhirnya saya menemukan si Ibu yang sedang bertransaksi dengan tukang bumbu masakan. Di akhir transaksi, si ibu mendapatkan potongan harga dari si penjual yang biasa disapa pak haji itu yang ternyata saya sudah mengenalnya 14 tahun silam, beliau adalah ustaz yang pernah mengajar di pesantren tempat saya belajar. Salah satu hal yang tidak ada di pasar modern manapun (supermarket) yakni hal semacam ini, bermodalkan seringnya berbelanja dan kepercayaan, harga miring bisa diperoleh di pasar tradisional. Jarang berujung dengan kekecewaan. Dan kami pun berlalu menjauh dari toko itu...
Bertemu dengan bibi yang ternyata sudah janjian dengan si ibu, jingjingan di tangan pun kian bertambah banyak, tapi lagi-lagi saya disuguhkan dengan sisi positif pasar tradisional. Jingjingan yang saya bawa dititipkan kepada penjual buncis kenalan si bibi. Selain banyak nilai merahnya, ternyata pasar tradisional menyimpan berbagai poin unggul bagi kalangan-kalangan tertentu. Banyak kenyamanan yang didapat melebihi nyamannya berbelanja di supermarket.
Beralih ke pemandangan selanjutnya. Tak kuat rasanya untuk ikut kembali berkeliling dengan mereka, saya memutuskan untuk menunggu saja di sini, di depan tukang martabak yang sedari saya datang, sampai akhirnya saya pulang, tukang martabak itu tak kelihatan batang hidungnya. Tanggunganya masih penuh dengan martabak yang sudah dingin. Tempat duduk serta kelengkapan dagang pun masih jelas terlihat. Tapi hey, kemanakah si abang tukang martabaknya?
Empat orang sudah menanyakan si abang martabak. Bolak-balik mereka memperhatikan tanggungan martabak dan kursi kosong di belakangnya. Mereka nampaknya penggila martabak. Nafsu akan martabak akhirnya harus dipendam bahkan pupus dari benak mereka karena ulah si abang martabak yang tak kunjung datang. Orang-orang di sekeliling tanggungan martabak pun (dan berarti di sekeliling saya) mulai angkat bicara. Ternyata, ini bukan kali pertama si abang martabak menghilang. Seperti halnya ia mempersiapkan daganganya, menghilang pun sudah terjadwal dalam agenda berdagangnya. Hah? maksudnya setiap kali berdagang, selain ada untung rugi dari hasil jualannya, ternyata ada acara sembunyi-sembunyian.
Dari sudut sebelah sana membenarkan, bahwasannya si abang martabak sembunyi karena takut ditagih oleh mereka geng Lintah Darat (rentenir). Dari mana mereka tahu?? Kalian tak usah heran. Itu juga termasuk ke dalam pemandangan yang biasa terjadi di pasar tradisional. Berbagai rahasia, dari mulai urusan pribadi, urusan orang lain bahkan urusan agama pun, ada di sini. Dan tak sedikit diceritakan dari blok ke blok, kios ke kios, toko ke toko. Entahlah...mereka juga mengatakan, biasanya si abang martabak melihat dari kejauhan dari sedikit celah di antara ramainya pasar tradisional Ciawitali, mengintip takut tanggungannya ada yang angkut.
Memang banyak hal-hal aneh di pasar tradisional. Selain mendapatkan berbagai kebutuhan, yang tidak dibutuhkan pun secara tidak disadari akan kita dapatkan. Itulah sebabnya saya lebih suka jalan-jalan ke Pasar tradisional daripada ke Mall, lebih suka ramainya pasar ini daripada tempat mejeng yang menyamar jadi tempat olahraga. Peluang-peluang silaturahmi terbuka lebar. ^_^'
Saya berdiri lama di depan tukang tempe dan sebelah kiri saya tukang daging ayam yang hampir 15 menit sekali terdengar suara pisau jagalnya beradu dengan alas kayu. Sangat berirama. Layaknya seorang intel dengan kabel headset menggantung di satu kuping, saya melihat sebagian suasana pasar Ciawitali dengan saksama. Oya, sedang apa saya di sini? Saya 'tersesat'. Tertinggal sang induk yang sudah masuk ke dalam belantara pasar di saat saya mencari tempat untuk menyimpan motor. Akhirnya, di sinilah sekarang saya berdiri.
Semuanya sibuk. Maksud saya, semuanya mempunyai pekerjaan. Dari ratusan pelaku transaksi, ada yang menarik perhatian saya. Dia dari kejauhan menggendong jamu, menawarkan jamu dan menebarkan senyuman, sesekali menuangkan jamu tanpa disuruh dan memberikannya kepada mereka yang sudah berstatus sebagai pelanggan setia. Penjual jamu ini memang berbeda dari yang lainnya. Dia masih muda, cantik dan sopan. Dia menggendong jamu kemana-mana dengan setelan sangat islami; kerudung panjang, baju lengan panjang, memakai rok jeans panjang motif bunga-bunga, dan tak lupa memakai kaos kaki, sungguh anggun. Satu hal yang bisa diambil dari gadis (baca: akhwat) jamu gendong ini adalah dia berani mengubah stereotip para penjual jamu yang mayoritas seksi dan genit menjadi sopan dan bersahaja. Tak lama, dia pun berlalu entah kemana...
Akhirnya saya mencoba masuk ke dalam belantara pasar, memberanikan diri mencari sang induk. Setelah berkeliling melewati bermacam dagangan, menyusuri beceknya pasar yang sanitasi airnya tak jelas alurnya, dan setelah mencium berjuta bau khas pasar, akhirnya saya menemukan si Ibu yang sedang bertransaksi dengan tukang bumbu masakan. Di akhir transaksi, si ibu mendapatkan potongan harga dari si penjual yang biasa disapa pak haji itu yang ternyata saya sudah mengenalnya 14 tahun silam, beliau adalah ustaz yang pernah mengajar di pesantren tempat saya belajar. Salah satu hal yang tidak ada di pasar modern manapun (supermarket) yakni hal semacam ini, bermodalkan seringnya berbelanja dan kepercayaan, harga miring bisa diperoleh di pasar tradisional. Jarang berujung dengan kekecewaan. Dan kami pun berlalu menjauh dari toko itu...
Bertemu dengan bibi yang ternyata sudah janjian dengan si ibu, jingjingan di tangan pun kian bertambah banyak, tapi lagi-lagi saya disuguhkan dengan sisi positif pasar tradisional. Jingjingan yang saya bawa dititipkan kepada penjual buncis kenalan si bibi. Selain banyak nilai merahnya, ternyata pasar tradisional menyimpan berbagai poin unggul bagi kalangan-kalangan tertentu. Banyak kenyamanan yang didapat melebihi nyamannya berbelanja di supermarket.
Beralih ke pemandangan selanjutnya. Tak kuat rasanya untuk ikut kembali berkeliling dengan mereka, saya memutuskan untuk menunggu saja di sini, di depan tukang martabak yang sedari saya datang, sampai akhirnya saya pulang, tukang martabak itu tak kelihatan batang hidungnya. Tanggunganya masih penuh dengan martabak yang sudah dingin. Tempat duduk serta kelengkapan dagang pun masih jelas terlihat. Tapi hey, kemanakah si abang tukang martabaknya?
Empat orang sudah menanyakan si abang martabak. Bolak-balik mereka memperhatikan tanggungan martabak dan kursi kosong di belakangnya. Mereka nampaknya penggila martabak. Nafsu akan martabak akhirnya harus dipendam bahkan pupus dari benak mereka karena ulah si abang martabak yang tak kunjung datang. Orang-orang di sekeliling tanggungan martabak pun (dan berarti di sekeliling saya) mulai angkat bicara. Ternyata, ini bukan kali pertama si abang martabak menghilang. Seperti halnya ia mempersiapkan daganganya, menghilang pun sudah terjadwal dalam agenda berdagangnya. Hah? maksudnya setiap kali berdagang, selain ada untung rugi dari hasil jualannya, ternyata ada acara sembunyi-sembunyian.
Dari sudut sebelah sana membenarkan, bahwasannya si abang martabak sembunyi karena takut ditagih oleh mereka geng Lintah Darat (rentenir). Dari mana mereka tahu?? Kalian tak usah heran. Itu juga termasuk ke dalam pemandangan yang biasa terjadi di pasar tradisional. Berbagai rahasia, dari mulai urusan pribadi, urusan orang lain bahkan urusan agama pun, ada di sini. Dan tak sedikit diceritakan dari blok ke blok, kios ke kios, toko ke toko. Entahlah...mereka juga mengatakan, biasanya si abang martabak melihat dari kejauhan dari sedikit celah di antara ramainya pasar tradisional Ciawitali, mengintip takut tanggungannya ada yang angkut.
Memang banyak hal-hal aneh di pasar tradisional. Selain mendapatkan berbagai kebutuhan, yang tidak dibutuhkan pun secara tidak disadari akan kita dapatkan. Itulah sebabnya saya lebih suka jalan-jalan ke Pasar tradisional daripada ke Mall, lebih suka ramainya pasar ini daripada tempat mejeng yang menyamar jadi tempat olahraga. Peluang-peluang silaturahmi terbuka lebar. ^_^'
Blog Garut