Rahasia Pasar Tradisional

Pagi-pagi sekali, saya sudah berada di Pasar Tradisional Ciawitali, Garut. Sesuai dengan namanya—tradisional—semuanya belum tersentuh polesan modernisasi, tentu dalam hal tatanan ruang dan sistem jual belinya, bukan para pelaku transaksinya. Di sana, pengunjung tidak akan menemukan kerapian. Segalanya serba tumpah ruah ke ruang yang masih bisa diisi, asal tidak mengganggu pihak lain. Begitu pula soal kebersihan. Kualitas kebersihan di pasar tradisional mungkin hanya mendapat nilai 0 dari 10. Sampah berserakan di mana-mana, dan posisi parkir sangat tidak menentu. Asalkan tidak menghalangi jalan, semua dianggap sah.

Saya berdiri cukup lama di depan tukang tempe, sementara di sebelah kiri saya ada tukang daging ayam yang setiap 15 menit sekali terdengar suara pisau jagalnya beradu dengan alas kayu—sangat berirama. Layaknya seorang intel dengan kabel headset menggantung di satu telinga, saya mengamati suasana pasar Ciawitali dengan saksama. Oh ya, sedang apa saya di sini? Saya ‘tersesat’. Tertinggal oleh sang induk yang sudah lebih dulu masuk ke dalam belantara pasar saat saya sibuk mencari tempat untuk menyimpan motor. Akhirnya, di sinilah saya berdiri.

Semua orang sibuk. Maksud saya, semua orang punya pekerjaan. Dari ratusan pelaku transaksi, ada satu sosok yang menarik perhatian saya. Dari kejauhan, ia menggendong jamu, menawarkan dagangannya sambil menebar senyum. Sesekali ia menuangkan jamu tanpa diminta dan memberikannya kepada pelanggan setia. Penjual jamu ini memang berbeda. Ia masih muda, cantik, dan sopan. Ia menggendong jamu ke sana kemari dengan setelan yang sangat islami: kerudung panjang, baju lengan panjang, rok jeans panjang bermotif bunga-bunga, dan tak lupa mengenakan kaus kaki. Sungguh anggun.

Satu hal yang bisa dipetik dari gadis (baca: akhwat) jamu gendong ini adalah keberaniannya mengubah stereotip penjual jamu yang mayoritas tampil seksi dan genit menjadi sosok yang sopan dan bersahaja. Tak lama, ia pun berlalu entah ke mana.

Saya akhirnya memberanikan diri masuk ke dalam belantara pasar, mencari sang induk. Setelah berkeliling melewati beragam dagangan, menyusuri beceknya lantai pasar yang aliran airnya tak jelas, dan mencium berjuta aroma khas pasar, saya menemukan Ibu sedang bertransaksi dengan tukang bumbu masakan. Di akhir transaksi, Ibu mendapat potongan harga dari penjual yang biasa disapa Pak Haji—yang ternyata saya kenal sejak 14 tahun silam. Beliau adalah ustaz yang pernah mengajar di pesantren tempat saya belajar.

Salah satu hal yang tidak akan ditemukan di pasar modern (supermarket) adalah interaksi semacam ini. Bermodalkan kebiasaan berbelanja dan kepercayaan, harga miring bisa diperoleh di pasar tradisional. Jarang berujung kekecewaan. Kami pun berlalu dari toko itu.

Kami bertemu dengan Bibi yang ternyata sudah janjian dengan Ibu. Barang bawaan pun bertambah banyak. Tapi lagi-lagi, saya disuguhkan sisi positif pasar tradisional. Barang bawaan saya dititipkan kepada penjual buncis yang merupakan kenalan Bibi. Selain banyak nilai minusnya, pasar tradisional menyimpan berbagai poin unggul bagi kalangan tertentu. Banyak kenyamanan yang didapat, bahkan melebihi nyamannya berbelanja di supermarket.

Beralih ke pemandangan berikutnya. Karena tak kuat ikut berkeliling lagi, saya memutuskan menunggu di depan lapak tukang martabak yang sejak saya datang hingga hendak pulang, tak terlihat batang hidungnya. Dagangannya masih penuh dengan martabak yang sudah dingin. Tempat duduk dan perlengkapan jualan pun masih lengkap. Tapi, ke mana si abang martabak?

Empat orang sudah menanyakan keberadaan si abang. Mereka bolak-balik memperhatikan martabak dan kursi kosong di belakangnya. Nampaknya mereka penggila martabak. Nafsu mereka harus dipendam, bahkan pupus, karena si abang tak kunjung datang.

Orang-orang di sekitar lapak martabak pun—dan berarti di sekitar saya—mulai angkat bicara. Ternyata, ini bukan kali pertama si abang martabak menghilang. Seperti halnya ia mempersiapkan dagangannya, menghilang pun sudah terjadwal dalam agenda berdagangnya. Hah? Maksudnya, setiap kali berdagang, selain ada untung rugi dari hasil jualan, ternyata ada sesi sembunyi-sembunyian.

Dari sudut lain, seseorang membenarkan bahwa si abang martabak sembunyi karena takut ditagih geng lintah darat (rentenir). Dari mana mereka tahu? Jangan heran. Itu juga termasuk pemandangan biasa di pasar tradisional. Berbagai rahasia—urusan pribadi, urusan orang lain, bahkan urusan agama—semuanya ada di sini. Tak sedikit pula yang diceritakan dari blok ke blok, kios ke kios, toko ke toko.

Entahlah... mereka juga mengatakan, biasanya si abang martabak mengintip dari kejauhan, dari celah sempit di antara keramaian pasar Ciawitali, takut dagangannya diangkut.

Memang banyak hal aneh di pasar tradisional. Selain mendapatkan berbagai kebutuhan, yang tidak dibutuhkan pun kadang ikut terbawa pulang tanpa disadari. Itulah sebabnya saya lebih suka jalan-jalan ke pasar tradisional daripada ke mal. Lebih suka keramaiannya daripada tempat mejeng yang menyamar jadi arena olahraga. Peluang silaturahmi terbuka lebar.