Untuk Kalian Wahai Pemuda, Duhai Pemudi
Udara dingin menyelimuti mereka. Tak heran, mereka tinggal di kota yang terletak di kawasan pegunungan. Terlebih setelah hampir tiga bulan tidak turun hujan, angin kemarau kian gemar berlarian di sekitar kota.
Saat-saat terakhir Pesantren Kilat telah tiba. Namun, bukan berarti ini menjadi hari terakhir dalam menuntut ilmu, dan bukan pula menjadi momen terakhir bagi mereka untuk mengamalkan apa yang telah dipelajari.
Setelah salat Isya, para peserta bersiap membereskan perlengkapan acara perpisahan. Mereka menyebutnya malam muhasabah—malam introspeksi. Agar suasana muhasabah tetap terasa, acara dilaksanakan di sebuah Sekolah Dasar yang cukup jauh dari perkampungan. Muda-mudi itu berjalan menuju lokasi. Suasana masih hening karena sebagian besar warga kampung sedang melaksanakan salat Tarawih. Mereka berniat salat Tarawih di lokasi SD malam itu.
Gerbang sekolah mulai dibuka. Lampu dinyalakan satu per satu, sesuai pengecekan siang tadi. Mereka masuk ke kelas yang sudah tertata rapi. Tanpa pikir panjang, para panitia langsung menggeser bangku sesuai jumlah kelompok peserta. Jumlah peserta cukup banyak. Tak lupa, mereka menyiapkan satu meja khusus untuk pemateri malam itu.
Di tempat lain, seorang pemuda masih cemas dengan pekerjaannya yang belum rampung. Beberapa slide presentasi masih kosong. Rencananya, slide tersebut akan menjadi isi materi yang akan dipaparkan kepada para peserta yang telah mengundangnya.
Jam di kamar menunjukkan pukul 19.30. Ia berniat salat Tarawih bersama panitia. Setelah meminta izin kepada sahabat yang menjemputnya, tepat pukul 19.55 ia bergegas memasukkan laptop ke dalam tas hitamnya. “Laa haula wa laa quwwata illa billah,” bisiknya pelan, mengucapkan kalimat penuh kekuatan. Ia pun meninggalkan rumah menuju Sekolah Dasar tempat acara akan berlangsung.
Lampu-lampu di SD sudah menyala terang. Riuh bisik suara anak-anak SMA mulai terdengar. Tak lama, pemuda tersebut disambut oleh para panitia yang telah menanti kedatangannya. Ia diantar ke ruangan tempat acara digelar. Layar proyektor sudah menyala, menembak dinding sekolah yang mulai bocel di sana-sini.
Ia mengeluarkan laptop sesaat setelah panitia meninggalkan ruangan. Layar laptop terhubung ke proyektor. Tampak slide sederhana bertuliskan:
Syubbanul Yaum Rijaalul Ghad, wa Banaatul Yaum, Ummahatul Ghad.
Ia melihat ke arah peserta yang saling berbisik, entah heran atau penasaran dengan judul yang terpampang di tembok melalui sorotan proyektor.
“Ehem... Assalamu’alaikum,” ucapnya memecah kegaduhan.
Para peserta menjawab salam dengan kompak.
Dengan mikrofon di tangan, ia memperkenalkan diri tanpa basa-basi, lalu bertanya dengan lantang:
“Apa definisi dari judul yang tertera di layar?”
Para peserta saling bertatapan.
Ada yang cuek bermain dengan alat tulis.
Di ruangan sebelah, para panitia mengintip dengan penasaran.
Mereka pun mengerutkan kening: tidak tahu.
Dengan suara lantang, ia menjelaskan:
“Pemuda hari ini adalah lelaki (bapak) di masa depan.
Pemudi hari ini adalah perempuan (ibu) di masa depan.”
Para peserta langsung mencatat penjelasan tersebut.
Tak ada yang salah dengan judulnya, karena sebelumnya panitia memang meminta sang pemuda untuk membahas pentingnya “Menggunakan Masa Muda.”
Sebelum masuk ke materi utama, ia bertanya:
“Apakah di antara kalian sudah ada yang memulai bisnis atau bisa mencari uang sendiri?”
Beberapa peserta mengacungkan tangan.
Ia lanjut bertanya:
“Apakah di antara kalian ada yang pernah digebuki massa? Atau minimal pernah didatangi orang asing karena kenakalan kalian?”
Ruangan riuh dengan gelak tawa.
Serentak mereka menjawab: “Tidak.”
“Bagus. Dari segi muamalah (sosial), kalian sudah pantas diacungi jempol.
Ada yang sudah bisa menghasilkan uang sendiri, walaupun sebagian belum mampu.
Tapi yang terpenting: kalian tidak pernah digebuki warga kampung,” ucapnya sambil tersenyum, lalu memindahkan slide ke materi utama.
“Dari segi muamalah, kalian sudah pandai bersosialisasi dan mencari uang.
Sekarang kita lihat keuntungan dari status kalian sebagai pemuda dan pemudi dalam urusan ibadah.
Agama ternyata menyediakan kenyamanan langsung dari Allah SWT bagi kalian yang memanfaatkan masa muda.”
Slide berikutnya menampilkan judul:
Tujuh Golongan yang Mendapat Naungan di Hari di Mana Tidak Ada Naungan Selain Naungan Allah SWT.
Lengkap dengan tujuh poinnya.
“Baik, adik-adik. Yang berhubungan dengan masa muda dari tujuh golongan ini, nomor berapa saja?”
Ia mendekat ke layar.
“Nomor dua!” jawab sebagian peserta dengan percaya diri.
“Ya, betul. Nomor dua dan nomor tiga.
Keduanya terlihat mudah dilakukan, tapi karena masa muda, bisa jadi terasa sulit.
Baik, ini dia tujuh golongan yang akan mendapat naungan di hari kiamat kelak:”
- Pemimpin yang adil.
- Pemuda yang tumbuh dalam kebiasaan beribadah kepada Rabb-nya.
- Lelaki yang hatinya terpaut dengan masjid.
- Dua orang yang saling mencintai karena Allah, tidak bertemu dan tidak berpisah kecuali karena Allah.
- Lelaki yang diajak berzina oleh wanita cantik dan berkedudukan, lalu ia berkata, “Aku takut kepada Allah.”
- Orang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.
- Orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri hingga matanya basah karena menangis.
(HR. Al-Bukhari)
Setelah menjelaskan satu per satu, sebagian peserta masih mencatat.
Sebagian mulai menguap karena kantuk.
Namun, ada yang mengangkat tangan ingin bertanya.
Seorang pemudi berkerudung pink bertanya:
“Apakah golongan nomor empat itu tentang mereka yang pacaran, Pak?”
Ia bertanya sambil tersipu.
Pemateri, tanpa persiapan, mencoba menjawab sejelas mungkin.
Ia balik bertanya kepada peserta:
“Ayo, ada yang tahu? Apakah ini tentang mereka yang pacaran? Yang jadian atau putusnya karena Allah?
Bagus ya pertanyaannya...”
Ia meminum air susu yang disiapkan panitia, lalu melanjutkan dengan suara lantang:
“Ini bukan tentang golongan orang yang pacaran.
Bisa jadi saya dan kamu saling mengasihi tanpa dendam, saling membantu dengan kasih, saling bersilaturahmi dengan ikhlas.”
Ia menunjuk seorang peserta laki-laki.
“Jadi, bukan berarti pasangan lawan jenis.
Dengan saudara, adik, atau kakak pun bisa saling mencintai karena Allah.
Berpisah pun ikhlas karena Allah.
Bukan karena permusuhan, dendam, atau—naudzubillah—karena harta.
Wallahu a’lam bish-shawab.”
Suasana kelas kembali hening.
Sebagian peserta duduk merunduk, terkantuk-kantuk.
Sebagian lainnya bermain dengan teman di sampingnya.
Angin kemarau mulai berlarian riang di halaman sekolah.
Meniup pepohonan yang berjejer di sudut lapangan.
Sudah hampir satu jam pemateri menjelaskan dua poin keistimewaan pemuda yang mengabdikan diri melawan hawa nafsu dan mendapatkan fasilitas naungan dari Allah di hari kiamat kelak.
Dengan lantang, ia menutup pertemuan:
“Pergunakan masa muda kalian dengan baik. Demi Allah, masa muda tidak akan kembali lagi!”
Setelah pemateri keluar dari ruang kelas, para panitia masuk dan mengumumkan bahwa acara selanjutnya adalah makan malam untuk sahur.
Serentak para peserta bersorak semangat.