Why Me?

Saya sendiri belum bisa disebut sebagai penyintas kanker. Diagnosis kanker paru stadium 4 baru ditegakkan lima bulan yang lalu. Dan hingga kata sambutan ini saya tulis, saya masih berjuang untuk mengatasinya. Tetapi saya tidak pernah bertanya, “Why me?”

Saya menganggap ini sebagai salah satu anugerah dari Allah SWT. Sudah begitu banyak nikmat yang saya terima dalam hidup ini: hidup di negara yang indah, tidak dalam peperangan; diberi keluarga besar yang cerdas dan hangat; kondisi sosial ekonomi yang cukup; dianugerahi suami yang sangat sabar dan baik hati; serta tiga anak—dua putra dan satu putri—yang alhamdulillah sehat, cerdas, dan berbakti kepada orang tua.

Hidup saya penuh dengan kebahagiaan.
Jadi... “Why not?”
Mengapa tidak, Tuhan menganugerahi saya kanker paru?
Tentu Tuhan punya rencana-Nya, yang belum saya ketahui. Tapi saya merasa siap untuk menjalaninya. Insya Allah.
Setidaknya, saya kini menjalani sendiri penderitaan yang dialami para pasien kanker, sehingga saya bisa memperjuangkan program pengendalian kanker dengan lebih empatik dan menyeluruh.

Bagi rekan-rekan sesama penderita kanker dan para penyintas, mari kita berbaik sangka kepada Allah.
Mari kita terima semua anugerah-Nya dengan penuh syukur.
Sungguh, lamanya hidup tidaklah sepenting kualitas hidup itu sendiri.
Mari lakukan sebaik-baiknya apa yang bisa kita lakukan hari ini—dengan sepenuh hati.
Dan... jangan lupa, nyatakan perasaan kita kepada orang-orang yang kita sayangi.
Bersyukurlah, kita masih diberi kesempatan untuk itu.

Sambutan yang luar biasa dari almarhumah Ibu Endang, mantan Menteri Kesehatan RI.
Dari empat paragraf di atas—yang sering diputar di televisi, radio, dan ramai di berbagai media daring—hanya dua kata yang membuat saya merinding:
Why me?
Dua kata ini memang bisa menjadi pembeda.
Di mata saya, almarhumah berbeda dari banyak penderita lainnya.
Baginya, keluhan yang biasa digaungkan oleh para penderita penyakit justru bisa membuat seseorang lupa akan triliunan nikmat yang telah dimilikinya.

Tak perlu lagi bertanya-tanya:
Mengapa saya?
Mengapa saya yang sakit?
Mengapa saya yang miskin?
Mengapa saya yang ditinggalkan?
Mengapa saya yang gagal?
Mengapa saya yang dikucilkan?

Namun, bagi sebagian orang, dua kata itu justru bisa menjadi ajian.
Singkatnya, Why me adalah pertanyaan reflektif yang bisa menjadi sumber motivasi—jika digunakan dengan tepat.
Tentu, tidak semua orang bisa menggunakannya. Ada rumusnya.

Ajian ini tidak akan bekerja jika disandingkan dengan membandingkan diri ke posisi yang lebih nyaman:
“Kenapa saya sakit, sementara orang lain sehat?”
“Kenapa saya tidak sempurna, sementara orang lain normal?”
Pertanyaan seperti itu hanya akan menjauhkan manusia dari rasa syukur.

Lebih baik, dua kata itu disandingkan dengan prasangka baik kepada Sang Pemberi Kehidupan, Allah SWT.

“Kenapa saya kemalingan?”
Mungkin karena saya kurang bersedekah.
“Kenapa saya miskin?”
Mungkin karena dengan kemiskinan, kesabaran saya lebih dicintai Allah daripada sabarnya orang kaya.
Atau mungkin, dengan adanya orang miskin, orang kaya punya lebih banyak peluang untuk beramal saleh.
“Kenapa saya sulit dapat kerja?”
Mungkin karena saya tidak cocok jadi karyawan—mungkin saya ditakdirkan jadi pemilik usaha.
“Kenapa saya belum lulus tepat waktu?”
Mungkin karena saya akan lulus di waktu yang tepat, bukan sekadar tepat waktu. :)

Namun, akan jauh lebih indah jika dua kata Why me disandingkan dengan nikmat besar:
“Kenapa saya kaya?”
“Kenapa saya cantik?”
“Kenapa saya sukses?”
“Kenapa saya pintar?”

Tetaplah berbaik sangka kepada Allah dan rendahkan hati di hadapan-Nya.
Rendah diri kepada manusia itu tidak dibenarkan, tapi kepada Allah, itu wajib hukumnya.

“Kenapa saya kaya?”
Mungkin karena saya harus lebih banyak beramal.
“Kenapa saya pintar?”
Mungkin karena saya harus membantu mereka yang kurang beruntung dalam belajar.
“Kenapa saya cantik?”
Mungkin karena kecantikan ini adalah ujian—apakah wajah cantik ini bisa memunculkan akhlak yang indah, atau justru sebaliknya?

Seperti itu... terus dan terus berpikiran positif terhadap hidup.
Berprasangka baik kepada Sang Pemberi Kehidupan, Allah SWT.

Dengan tetap berbaik sangka kepada Allah, bahkan hanya dengan dua kata Why me, seseorang bisa menjadi luar biasa.
Dua kata itu bisa menjadi ajian sakti dalam menjalani ujian hidup ini.
Insya Allah.

06 Mei, malam Senin, sendiri di bawah cahaya supermoon.