Alasan Perlu Dialog

Pertemuan pertama dalam pembelajaran Pengenalan Drama, saya bertanya kepada mahasiswa tentang keberadaan teks drama di rak toko buku. Beberapa mahasiswa tidak tahu bahwa di toko buku ada teks sastra drama. Sisanya tidak pernah berkunjung ke rak buku sastra, dan sebagian kecil bahkan bertanya tentang alamat toko buku—alias tidak pernah ke toko buku sama sekali.
Pertanyaan kedua berlanjut: “Seberapa pentingkah kita membaca teks drama?”
Semua mahasiswa di kelas tersebut tidak ada yang menjawab, selain tersenyum simpul dan mencuri pandang ke temannya.
Saya terdiam.
Saya membuka ponsel, lalu membacakan secara acak dan lantang salah satu dialog dari grup WhatsApp. Kebetulan, dialog yang saya bacakan saat itu berkaitan dengan Iduladha. Sebagai informasi, saya tergabung dalam hampir 50 grup WhatsApp.

A: Mohon doa untuk kesembuhan Bapak... mertua dari temannya Bapak... dan Bapaknya itu memiliki tetangga... yang sudah hampir tiga minggu berbaring di rumah sakit.
B: Aamiin
C: Aamiin
D: Aamiin...
E: Aamiin. Assalamu’alaikum wr. wb. Maaf, bukannya pamer atau sombong. Ini kan sudah mendekati Iduladha. Nah, di rumah nanti rencananya mau potong dua sapi. Buat yang mau daging, dipersilakan datang ke rumah tanggal 22 Agustus 2018. Nanti dibagikan tiga bungkus per orang. Biar praktis, sudah dijadikan dalam bentuk Royco sapi kemasan sachet. Terima kasih.
B: Hahaha...
C: Ah, recehan.
A: Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Bapak... sudah meninggal dunia.
B: Aamiin
C: Aamiin... YRA
D: Aamiin...
E: Aamiin. Usia memang tidak ada yang tahu, ya. Bisa jadi kamu, @B, duluan, atau mungkin saya belakangan...
B: Hahaha...
C: Hahaha, sial lu...
D: Assalamu’alaikum. Siapa tahu ada yang membutuhkan obat, ada susu terbaik setara ASI. Silakan hubungi...

Sampai dialog tersebut, kelas sudah tidak terkontrol. Mereka terpingkal-pingkal di atas kesedihan mahasiswi yang sedang sakit datang bulan, atau di atas derita dosen drama yang sedih karena mahasiswanya tidak pernah membaca teks drama—padahal keseharian mereka diliputi dialog absurd paling mantap sepanjang sejarah. Grup WhatsApp adalah panggung dialog absurd terkeren dalam kehidupan manusia modern.
Dalam grup WA, semua orang mencoba serius dengan apa yang mereka baca. Tanpa nada bicara, tanpa ekspresi wajah (emotikon bagi saya adalah kemunafikan virtual). Setelah saya perhatikan, dialog WA itu tidak jauh berbeda dengan teks drama.
Saya pernah membuat narasi dialektis dari grup WA. Yang terjadi adalah: betapa bodohnya saya menulis, membaca, mem-forward, menyalin, mengucapkan aamiin, lalu membaca lagi dan berujung marah. Atau mungkin berujung tawa saat mengantre obat di apotek. Selama kita bodoh, tawa bisa pecah di mana saja. Dan itu normal. Manusia bodoh harus membaca dan menulis.
Bagi saya, manusia bodoh itu lebih normal dibanding manusia serius yang tidak pernah tertawa, membaca, atau menulis candaan. Saya kembali merasa bodoh saat seseorang dianggap berwibawa hanya karena ia tidak pernah tertawa.
Sampai di sini, jangan sampai anak saya tidak tahu fungsi dialog. Dialog sindiran, dialog hasutan, dialog candaan, dialog kesedihan, dialog keseriusan, dialog agama—semuanya ada di sekeliling kita. Dan kita, boleh jadi, adalah pelaku dialog tersebut.
Saya menutup kelas dengan meminta lima mahasiswa membacakan delapan baris dari dialog grup WA mereka masing-masing. Yang terjadi: semua mahasiswa tertawa terpingkal-pingkal karena dialog WA mengabaikan bahasa secara fungsi maupun struktur. Padahal kami adalah akademisi bahasa dan sastra.
Saya menyimpulkan: dialog dalam WA itu hanya sekadar pamer kuota. Tolong kesampingkan ide, konsep, atau cara berpikir. Itu saja.
“Tapi, Pak, kita juga dapat informasi atau solusi dari grup WA?” tanya seorang mahasiswa.
“Ah, kamu mah terlalu serius menanggapinya... Wassalam.”

Comments