Alasan Perlu Dialog
July 20, 2020
Posted by
yogaptek
| Waktu baca:
Pertemuan pertama saat pembelajaran ‘Pengenalan Drama’, saya bertanya pada mahasiswa tentang keberadaan drama di rak toko buku. Beberapa mahasiswa tidak pernah tahu kalau di toko buku ada teks sastra drama, sisanya tidak pernah berkunjung ke rak buku sastra, dan sedikit lagi bertanya tentang alamat toko buku, alias tidak pernah ke toko buku. Pertanyaan kedua berlanjut ke: seberapa penting, kah kita membaca teks drama? Semua mahasiswa di kelas tersebut tidak ada yang menjawab selain mesem dan mencuri lirik pada temannya.
Saya terdiam.
Saya buka handphone, membacakan dengan acak dan lantang salah satu dialog pada grup WA. Kebetulan dialog yang dibacakan pada saat itu tentang ‘idul Adha. Sebagai informasi, saya memiliki hampir 50 grup di whatsapp.
A: Mohon doa untuk kesembuhan bapa ... mertua dari temannya bapak... dan bapaknya itu memiliki tetangga....yang sudah hampir 3 minggu berbaring di rumah sakit.
B: Amiin
C: Aamiin
D: Amiin..
E: Amiin. Assalamu'alaikum wr.wb....Maaf bukannya pamer atau sombong. Ini kan udah mendekati Idul Adha, nah dirumah nanti rencana nya mau potong 2 Sapi. Buat yg mau daging dipersilahkan dateng kerumah ya tgl 22 agustus 2018, nanti dibagikan 3 bungkus per orang. Biar praktis, sudah dijadikan dalam bentuk royco sapi kemasan sachet.Terima kasih
B: Hahahaha..
C: Ah, recehan.
A: Innalillahi wa inna ilaihi roji’un bapa ..... sudah meninggalkan dunia ini.
B: Aamiin.
C: Aamiin...YRA.
D: Aamiin...
E: Aamiin...Usia memang tidak ada yang tahu, ya. Boleh jadi kamu @B, duluan, atau mungkin saya belakangan...
B: Hahaha...
C: Hahaha sial, lu...
D: Assalamualaikum siapa tahu ada yang membutuhkan untuk obat, ada susu terbaik setara ASI, silakan hubungi .....
Sampai dialog tersebut, kelas sudah tidak terkontrol. Mereka terpingkal-pingkal di atas kesedihan mahasiswi yang sedang sakit datang bulan atau di atas derita dosen drama yang sedih mahasiswanya tidak pernah membaca teks drama padahal keseharian mereka diliputi dialog absurd paling mantap sepanjang sejarah. Grup whatsapp adalah dialog absurd terkeren sepanjang kehadiran manusia modern.
Dalam grup WA, semua orang mencoba serius dengan apa yang dia baca. Tanpa nada bicara, tanpa ekspresi muka (emoticon bagi saya adalah kemunafikan virtual), dan setelah saya perhatikan, dialog WA itu tidak jauh berbeda dengan teks drama. Saya pernah membuat narasi dialektis dari grup WA. Yang terjadi adalah, betapa bodohnya saya menulis, saya membaca, memforward, membaca, menyalin, mengucapkan aamiin, membaca dan berujung marah. Atau mungkin berujung tawa saat mengantri obat di apotek. Selama kita bodoh, tawa dapat pecah di mana saja. Dan itu normal, manusia bodoh harus membaca dan menulis.
Bagi saya, manusia bodoh itu lebih normal dibanding manusia serius yang tidak pernah tertawa, membaca atau menulis candaan. Kembali saya merasa bodoh saat seseorang dianggap berwibawa karena dia tidak pernah tertawa.
Sampai sini, jangan sampai anak saya tidak tahu fungsi dialog. Dialog sindiran, dialog hasutan, dialog candaan, dialog kesedihan, dialog keseriusan, dialog agama, semuanya ada di sekeliling kita dan kita (boleh jadi) adalah pelaku dialog tersebut.
Saya tutup kelas dengan meminta 5 mahasiswa untuk membacakan 8 baris dari dialog grup WA mereka masing-masing. Yang terjadi adalah semua mahasiswa hanya tertawa terpingkal-pingkal karena dialog WA mengabaikan bahasa secara fungsi ataupun strukturnya. Kami akademisi bahasa dan sastra.
Saya menyimpulkan, dialog dalam WA itu itu hanya sekadar pamer kuota. Tolong kesampingkan ide, konsep atau cara berpikir. Itu saja.
“Tapi, Pak. Kita juga dapat informasi atau solusi dari grup WA?” Tanya seorang mahasiswa.
“Ah, kamu mah terlalu serius menanggapinya... Wassalam.”
Blog
Subscribe to:
Post Comments
(Atom)
0 comments:
Post a Comment