Gimana Kalo...
July 22, 2020
Posted by
yogaptek
| Waktu baca:
Sekarang pukul 16.00. Hujan belum reda juga. Malah semakin besar. Aku masih di rumah teman di daerah Garut yang lumayan dingin. Maklum Garut selatan. Tapi aku harus pulang. Jarak tempuh ke rumahku akan menghabiskan sekitar satu jam setengah karena mau tidak mau aku harus memperlambat laju kendaraanku. Dengan kata lain aku akan sampai rumah malam. Apalagi hujan besar seperti ini.
Bermodalkan jas kelelawar hitam yang sedikit bolong di sana sini, aku pun pamit dari rumah teman. Beberapa kali temanku menyarankan untuk menginap barang semalam saja. Tapi entahlah, walaupun rasa malas yang bergiga, aku ingin sekali pulang. Terlebih aku tidak ingin merepotkan yang lain. Tumben, sore ini aku merindukan orang yang ada di rumah. Bisa saja sebetulnya aku meminta izin kepada orang tuaku untuk menginap di rumah teman ini dan pulang di kala shubuh. Niat itu kuurungkan sesaat melihat hujan yang sangat besar. Aku ingin pulang. Aku semakin merindukan mereka. Aku dan temanku menghampiri motorku. Masih kuingat ia membawa payung hitam besar untuk menghalau triliunan butir air dari langit. Dengan tanpa banyak kata-kata, hanya mengatakan lain kali aku akan mampir, aku pun memberanikan diri menyalakan motor yang sudah kuyup tersiram hujan. Pesan temanku cukup singkat: "semoga selamat dan jangan ngebut".
Aku pun mulai turun dari Garut selatan menuju pusat kota Garut. Jalanan begitu sepi. Terlalu riskan memang untuk keluar di saat hujan besar seperti ini, apalagi jarak penglihatan hanya beberapa meter saja. Campuran antara deras hujan dan kumpulan kabut. Kilatan cahaya langit sesekali terlihat, menambah pesona alam kian elok. Tidak ada suara gemuruh petir. Hanya saja suara deras hujan yang baru kali ini aku kenal, kepalan tangan yang memegang stang motor ini merasakannya. Sungguh menyakitkan. Untungnya aku memakai helm dan biarkan saja mereka memukul-mukul pengaman kepalaku ini. Fokusku tetap dan akan tetap pada jalanan di depan. Ketika di buramnya jalanan depan terlihat lampu merah menyala, berarti aku harus mengerem. Harus hati-hati. Sangat hati-hati.
Untuk mobil-mobil besar, tidak masalah hujan deras seperti ini. Dari tadi, sudah lebih dari sepuluh mobil truk besar pengangkut sayuran dan susu sapi aku salip. Garut selatan memang terkenal sebagai pemasok sayuran terbesar ke daerah Jakarta, Bogor dan sekitarnya. Termasuk susu sapi. Tak dipungkiri, temanku barusan pun memiliki peternakan sapi. Dan biasanya, menjelang sore seperti ini, susu-susu itu diangkut oleh mobil besar dari koperasi. Mungkin mengumpulkan literan susu di daerah itu baru selesai waktu sore. Pantas begitu ramai santai aku jumpai mobil-mobil pengangkut susu dan sayuran.
Jalanan menuju pusat kota lumayan bagus dan menurun. Apalagi untuk saat ini, jalanan termasuk tenang. Walaupun banyak truk-truk besar, mereka sangat santai dan tertib, mereka tidak suka keluar lajur. Sedikit aku tambah kecepatan motorku. Sesekali aku tersadar untuk tidak terlalu terburu-buru, aku pun kembali menurunkan handle gas motor. Hingga di satu tikungan, aku harus menurunkan laju motorku bahkan sampai 23 Km/jam. Di depanku ada kumpulan mobil truk besar bermuatan banyak sekali pasukan militer. Juga, di Garut selatan ada posko latihan militer yang cukup besar dan terkenal dengan lapangannya yang cukup besar, tempat itu sering digunakan untuk acara camping sekolah-sekolah di seluruh kota Garut.
Lebih dari delapan truk berwarna hijau kelam merayap santai di depanku ini. Bahkan aku bisa melihat untaian truk mereka sampai di ujung tikungan depan sana. Pikirku mungkin wajah dan mobil mereka yang super kotor karena sudah mengarungi medan yang dekil, tapi entahlah. Aku tidak bisa menyalip mereka. Jumlah mobil yang banyak dan jalan yang berliku, satu-satunya alasanku untuk mengurungkan menyalip. Dari sini, dengan kilatan cahaya seadanya, aku hanya bisa melihat wajah-wajah pasukan yang tidak gembira, ada yang tertidur menganga, dan ada yang fokus melihat ke arahku. Wajar, mungkin mereka kecapean.
Aku harus memberanikan diri untuk menyalip truk ini satu per satu. Aku mengayunkan motorku ke sebelah kanan dengan lampu sein menyala dan sesekali klakson motor kubunyikan, memberi tanda. Kuayunkan kembali ke arah kiri. Seperti itulah aku memberi tanda ingin menyalip. Tetapi lagi-lagi, dari arah berlawan ada saja kendaraan yang lewat. Dan anehnya, seolah tidak ingin disalip, truk ini mengikuti kemana motorku melihat celah kosong. Aku tidak bisa menyalipnya. Sampai kapan aku harus di belakang truk-truk ini?
Aku melihat jam digital di motorku. Jam menunjukkan pukul 17.05, lama sekali aku berada di jalan. Sebelum aku mengalihkan pandangan, aku terkejut dengan indikator bahan bakar motorku yang berkedip di huruf E (empty). Satu tikungan lagi depan sana, aku akan menemukan tempat pengisian bahan bakar. Dan aku akan istirahat sejenak dari truk-truk menyebalkan ini. Tidak apalah sampai rumah larut.
Sampai juga aku di tempat bahan bakar. Belum sempat aku membuka kunci tanki motorku, petugas SPBU hanya tersenyum dan hanya menunjukkan papan plang kuning di depan bertuliskan: "MAAF BAHAN BAKAR PREMIUM DAN SOLAR KOSONG". Aku hanya mengangguk dan langsung keluar dari SPBU mencari tukang bahan bakar di sepanjang jalan. Hujan masih deras. Tapi aneh, aku tidak menemukan truk-truk besar militer itu lagi. Jalanan hampir sepi, dan ini kesempatanku untuk memacu motorku lebih cepat.
***
Pukul 19.00 aku sampai di rumah. Jas hujan hitamku aku gantungkan di salah satu paku depan rumah. Aku masuk ke dalam rumah. Tidak ada yang merespon kedatanganku. Salamku pun bahkan tidak ada yang menjawab. Beberapa tetangga dan kerabatku ada di dalam rumah. Mungkin sedang ramai ingin melihat dan kangen keponakan baruku. Tapi mengapa hujan-hujan besar begini mereka datang ke rumah? Lagi, salamku tidak ada yang menjawab. Malahan, ayahku sibuk bolak-balik ke ruang depan dan kamarnya. Tidak jelas. Tumben, dia tidak pergi ke mesjid. Mungkin adikku yang jadi imam pengganti. Aku tidak melihat ibuku. Hanya bibi-bibiku yang terlihat. Dan mereka meneteskan air mata. Entah ada apa?.
Cepat-cepat aku masuk ke ruang keluarga tempat mereka berkumpul. Ingin menanyakan ada apa sebenarnya. Aku terpaku. Terdiam cukup lama. Ketika mereka mengulang-ulang namaku dan terus-terusan menyebutkan kebaikanku. Aku hanya bilang amin dalam hati ketika tetanggaku mengatakan aku akan menjadi penghuni syurga. Tapi ada apa ini sebenarnya? Aku belum mengerti. Salamku masih tidak dijawab. Ayahku kembali menerima telpon dan meyakinkan entah siapa di ujung sana bahwasannya beliau akan pergi ke Garut selatan sekarang juga. Hey, hujan-hujan seperti ini?? Namun, kebingunganku pecah buyar menjadi kepanikan, kesedihan dan campur aduk berjuta sesal sesaat ketika mendengar kakak ibuku yang mengatakan cukup pelan tapi entahlah aku bisa mendengarnya, 'semoga korban kecelakaan yang ditemukan dekat POM bensin itu bukan aku'.
Di ujung sana ada yang mengatakan, 'semuanya sudah jelas, plat motor yang ringsek tergilas truk bermuatan sapi itu adalah motor di sini'. Aku lemas, aku cemas. Aku hancur, aku lebur. Aku kesal, dan aku menyesal. Aku tersungkruk dalam kepingan rasa takut. Bagaimana jika aku ini adalah kamu? Bagaimana jika ... sebenarnya kamu berada di belakang truk besar bermuatan sapi dan tidak ada untaian truk-truk militer itu? Bagaimana jika ... sebetulnya kamu telah beradu cukup keras dan cepat dengan sesuatu ketika kamu melihat jam digital di motormu? Bagaimana jika ... sesungguhnya petugas SPBU tersenyum kepada orang yang ada di belakangmu, bukan kepadamu? Bagaimana jika ... semua orang tidak melihatmu sedang kamu melihat mereka? Dan bagaimana jika ... kamu itu sebenarnya sudah mati dalam sebuah kecelakaan?
cerpen
Subscribe to:
Post Comments
(Atom)
0 comments:
Post a Comment