Souvenir Untuk Nindia
Nindia sangat cantik. Penampilannya biasa saja, tidak glamor. Tangannya tidak ramai dengan gadget terbaru dan apalagi semacam perhiasan lainnya. Alat komunikasi seadanya. Pewanginya pun hanya minyak kayu putih ekaliptus yang bisa didapat di toserba manapun. Semua teman-temannya tahu itu. Budi pekerti yang luhur campuran kepandaian dalam berkomunikasi membuatnya dikenal sebagai sosok yang ramah, santun dan murah senyum. Itulah justru yang membuatnya berbeda dari gadis lainnya. Usianya kini menginjak 18 tahun. Beberapa minggu lagi dia akan masuk perguruan tinggi pilihannya di Bandung.
Semasa SMA kemarin, dia tidak aktif di OSIS seperti teman-teman lainnya yang bahkan mereka sampai meminta agar namanya dicantumkan di jajaran OSIS SMA paling favorit di Garut itu. Nindia tidak seperti itu. Empat surat ajakan dari Alex, sang kakak kelas sekaligus pengurus OSIS juga anjuran dari bapak Kepala Sekolah untuk menjadi ketua OSIS pun ia tidak beritahukan kepada teman-temannya. Nindia menyembunyikannya dengan rapi. Ia tidak bernafsu untuk itu. Sebetulnya, wajar saja kalau Alex dan bahkan sampai bapak Kepala Sekolah menawarkan posisi yang paling diperebutkan itu beberapa kali kepadanya, selain Nindia pintar dalam bergaul, waktu kelas 10 dirinya pernah mempersembahkan sesuatu untuk kota Garut. Nindia dengan penampilan yang belum berjilbab saat itu adalah satu-satunya siswi yang sempat berulah di kota Mataram sampai-sampai dimasukkan ke dalam media Nasional.
Nindia anak tunggal. Ibunya yang masih muda - yang bahkan mereka seperti kakak adik - divonis tidak akan bisa memiliki anak lagi. Entahlah, dokter kandungan di rumah sakit yang setelah diselidiki oleh warga sekitar, ternyata rumah sakit itu tidak mengenal persalinan normal, semuanya harus caesar, ibunya dilarang untuk mempunyai anak lagi. Awalnya ibunya sedih tidak berujung. Tapi apa mau dikata, semuanya harus dihadapi dengan keyakinan tidak ada yang sia-sia di muka bumi ini. Dari itulah, ia sangat menyayangi Nindia secara berlebihan. Tentang diterimanya Nindia di Bandung, ibunya menghela napas panjang. Rasa cemas belum sepenuhnya hilang walaupun Nindia sudah dianugerahi beasiswa penuh. Ini dikarenakan dirinya harus mengikhlaskan anak semata wayangnya pergi ke luar kota untuk waktu yang tidak singkat. Ia berpikir siapa yang akan mengajarkan anak-anakdiniyyah di kampungnya? siapa yang akan mengajarkan mengaji ba'da maghrib di mesjid samping rumahnya? Dan juga, siapa yang akan membawa donat buatannya ke kantin sekolah plus warung-warung sepanjang jalan menuju SMA?
Nindia tetap tenang dengan pertanyaan-pertanyaan ibunya. Dia tahu bahwa ibunya bukan mencemaskan hal-hal itu. Ia pernah mendengar ucapan para tetangga tentang curhatan berlebihan ibunya yang cemas bukan kepalang karena Nindia seorang wanita dengan perawakan yang subhanallahdikhawatirkan dapat menggoda kaum Adam. Sebenarnya, ibunya ingin sekali mengutarakan kata-kata inner beauty kepada para tetangganya. Anaknya mempunyai anugerah itu. Namun kata-kata tersebut tidak terucap karena tidak ditemukan dalam kamus wanita lulusan SMA yang melahirkan Nindia itu.
Asal tahu saja, sudah ada tiga pemuda yang ingin melamar Nindia. Semuanya orang kaya. Bahkan satu kampung sempat geger membicarakan tingkah gila Alex yang membawa Shelby GT500 ke kampung Nindia. Mobil besutan Ford itu dibawa dengan campuran tampang hitam Alex yang terus-terusan bertanya di manakah rumah Nindia. Alex anak pejabat Bandung, dia melanjutkan SMA di Garut karena neneknya merengek ketakutan dengan pergaulan kota besar seperti Bandung. Akhirnya Alex tinggal di rumah neneknya di daerah Wanaraja, Garut Timur, semenjak SMP. Alex ternyata menyimpan perasaan kepada Nindia sedari waktu orientasi siswa baru. Waktu SMA, Alex sama sekali tidak menunjukkan rasa sukanya kepada Nindia. Mungkin Alex tahu bahwasannya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari seorang Nindia. Gadis pujaannya tidak pernah mau dan tidak akan pernah mau jika diajak untuk jalan berbarengan apalagi boncengan dengan laki-laki. Alex paham betul kebiasaan Nindia. Alex tetap sabar menunggu waktu yang tepat bahkan sampai harus kehilangan kabar Nindia karena Alex kuliah di Bandung. Rupanya setelah kelulusan Nindia lah waktu yang paling tepat bagi Alex. Namun sayang, Nindia sama sekali tidak tertarik. Alasannya singkat, Nindia tidak suka Alex. Masalah selera memang bukan untuk dimusyawarahkan.
Dua orang pemuda lagi masing-masing dari kampung yang sama. Roni anak pak Kades yang mentah-mentah disakiti hatinya oleh Nindia. Nindia tidak merasa kejam. Bahkan dirinya secara langsung mengutarakan kepada teman dekatnya, Desi, yang sama-sama mengajar di Diniyyah: Roni seorang pezina. Hobinya pacaran kemana-mana dan di mana-mana. Sedang pemuda terakhir, Aden, teman mengajarnya di Diniyah juga, yang sebetulnya masih mempunyai hubungan kekerabatan, masih hangat dalam ingatan mereka, Nindia hanya mengatakan: kita lebih baik berteman saja.
***
Nindia kini sudah semester lima di kampus Ganesha, Bandung. Ia mengambil jurusan teknik Fisika. Seharusnya, ibunya sudah tidak perlu mengkhawatirkan kondisi anaknya. Nindia tidak berubah. Sebisa mungkin ia menyamakan hidupnya di Bandung dengan kehidupan di kampungnya. Ia bergabung dengan jamaah pengajian ibu-ibu dan umum. Ia juga meluangkan waktu untuk tetap berhubungan dengan anak-anak kecil yang ingin mengaji. Ditambah Nindia kini sudah semakin cerdas dalam mengambil kesempatan. Juga sudah semakin matang dalam mengambil keputusan. Bulan yang lalu misalnya, ia meminta doa kepada ibunya bahwasannya ia terpilih menjadi mahasiswi satu-satunya untuk menjadi pembicara pembuka pada pertemuan professor-professor Fisika dunia di kampusnya. Ia meminta doa untuk kelancaran acara itu. Nindia orangnya seperti itu. Sepertinya, sangat mudah bagi dirinya untuk memilah-milah mana hal yang banyak manfaatnya dan mana yang banyak madharatnya.
Tapi Nindia tetaplah Nindia yang dulu. Yang kalau menurutnya bermanfaat, ia jarang untuk meminta persetujuan ibunya. Seperti mengambil kuliah di Bandung dengan beasiswa penuh dari salah satu perusahaan swasta di Garut, ia tidak bicarakan dengan ibunya. Seperti menghabiskan jutaan rupiah tabungannya untuk membeli tafsir al-Misbah yang berjilid-jilid, maklum ia penggemar berat cendekiawan muslim Indonesia itu, juga ia tidak mengatakan kepada ibunya. Itu untuk warisan anaknya kelak, akan disematkan nama pengarangnya di belakang nama anaknya. Nindia pernah bertekad seperti itu. Ada lagi, terakhir yang lebih parah, waktu SMA, ketika ingin mengikuti Olimpiade Fisika di Mataram pun, Nindia hanya meminta izin dua hari sebelum keberangkatan. Surat dari sekolah lupa ia berikan kepada sang pemilik surga bawah kaki itu, akunya. Bahkan sampai pagi ini, ibunya kembali dikejutkan oleh anak yang senantiasa ia doakan itu. Awalnya ibunya senang karena seperti bulan-bulan yang lain, hari ini adalah jatah anaknya pulang ke rumah. Tiap bulan Nindia pulang ke rumah. Tapi pagi ini, ibunya dibuat bengong oleh Nindia. Liburan semester ini, anaknya ingin menikah. Tiga bulan lagi berarti tentang waktu yang dibicarakan anak gadisnya itu.
Seketika ibunya menangis. Memastikan anaknya tidak apa-apa dan seperti biasa, lama kelamaan ibunya tidak bisa berbuat apa-apa. Ibunya tidak dan tidak akan pernah sakit hati untuknya dan untungnya. Ia tahu Nindia tidak keliru. Ia tahu anaknya sudah dewasa dan sudah tidak ada yang ditanyakan lagi karena apa yang dilakukan Nindia sudah pasti dipikirkan oleh anak sholehahnya itu. Tapi kali ini ia mencoba menguji, bertanya manja apa yang sebetulnya membuatnya ingin menikah cepat dan siapa lelaki yang beruntung itu. Nindia mengatakan ia sudah pantas dan merasa sudah terlalu banyak godaan hidup sendirian tanpa muhrim. Perihal lelaki yang ia pilih, ia masih merahasiakan kepada ibunya. Satu hari pria itu akan datang ke rumahnya dengan keluarganya. Dan insya Allah Nindia sedikit meyakinkan, bahwa ibunya, alm. bapaknya dan agamanya akan menyukainya.
***
"Gimana neng itu ceritanya? bisa dijadikan buku souvenir untuk pernikahan kita, ga? yaa untuk perkenalan pengantin perempuannya, gitu." tanya seorang lelaki kepada Nindia.
"Iih, lebay banget, Aa. Apalagi itu... apaan coba anaknya sholehah. Neng kan masih jauh dari sholehah. Kalau cantik mah pastinya atuh...hehe" jawab Nindia.
"Hmm, bolehlah, A. Ntar yang tentang sekilas pengantin lelakinya, bagian Neng yang nulis, yah?" lanjut Nindia meminta izin.
"iya, daah...tapi tulis yang bagus-bagunya, yak?" ucap lelaki itu.
"Yaah, seadanya saja, lah hehe...Eh, A, tapi gimana kalau nama-nama kita disamarkan aja lah? Malu." Pinta Nindia.
"hahaha...masa disamarkan? Ini untuk souvenir, lho, Neng"
"Ya, engga apa-apa, dong. Entar khan ada potonya. Poto Ipin Upin gimana, A? hehe...Tapi biarin ah, disamarin aja. Lagian udah jelas data-data yang lainnya, kok. Pasti orang-orang tau, itu kita"
"Ya, udah...kamu pengen diganti sapa namanya?" tanya lelaki itu.
"Gimana kalau Nindia?." Tanya Nindia.
"Hmm.. Keren juga. Lumayan jauh lah dari nama aslinya. Kalau Aa ingin diganti namanya jadi Yoga aja, deh." jawab laki-laki itu mantap.
Nindia hanya memberi smiley senyum. Chat facebook pun terputus. Sampai waktu yang dibicarakan, 12 bulan setelahnya tidak ada percakapan lagi di facebook. Mungkin selamanya chat itu tidak akan pernah hidup kembali.
***
Maaf kalau Adnan mendobrak paksa facebook Mama. Foto-foto perkawinan kalian akan Adnan simpan sendiri, termasuk foto pertemuan pertama kalian di Mataram. Adnan sangat bangga punya orang tua sarat prestasi.
Selamat jalan Ma, terima kasih sudah menjadi inspirasi Adnan. Adnan sekarang sudah di Amerika bersama Papah dan Ibu. Nenek alhamdulillah sehat, Ma. hehe
Adnan Q. Asgarut
11 Desember 2013
cerpen Nindia
0 comments:
Post a Comment