Tidak Ada Kata Terlambat

Setelah mendengarkan cerita-cerita sebelumnya, sekarang kita loncat ke cerita selanjutnya.

Cerita ini bermula dari pertanyaan sederhana saat terjebak macet di Tol Cikampek, sekitar tiga hingga empat tahun lalu.
“Mengapa harus ada pembangunan terus-menerus? Tol ini sudah cukup. Mengapa harus ada tol layang segala?”
Respon penumpang beragam.
Ada yang menilai ini sebagai tanda kemajuan suatu negara.
Ada yang berkata, “Ini bukan untuk kita. Ini untuk warga lain. Kita hanya dijadikan pekerja.”
Ada pula yang menilai, “Biar kelihatan gaya.”
Dan yang paling parah, ada yang merespon sambil mengatakan, “Semua ini untuk dirusak nantinya.”

Krik...

Tibalah pagi ini.
Pertanyaan itu sepertinya mulai terjawab.
Kemarin siang, saya memesan kepala vacuum cleaner dari daerah Tangerang via online.
Pagi ini, belum sampai pukul 10, barang sudah sampai di tangan.
Barangnya kecil, murah, namun sulit ditemukan.
Barang remeh ini, demi Tuhan, sangat berarti bagi rumah kami.

Sulit dibayangkan...
Saat ada orang yang memesan barang lebih mahal dari kepala vacuum cleaner saya—katakanlah LED TV 64 inci atau laptop keluaran terbaru—dan barang tersebut tidak kunjung datang, atau sulit dilacak keberadaannya.
Tentu ini akan mengganggu pola makan, pola tidur, dan pola pikir.
Perkembangan teknologi yang memaksa kita untuk bertindak cepat harus diimbangi dengan akses fisik yang memadai.
Jangan sampai smartphone laris masuk ke hutan, sementara di hutan tersebut tidak ada tiang sinyal.
Jangan pernah berpikir untuk menggunakan smartphone jika pola pikir masih jumud.

Kaya dan miskin adalah pengkelasan purba yang sudah terjadi ribuan tahun lalu, dan masih menjadi ketahanan sosial hingga kini.
Saya kaya, kamu miskin.
Atau sebaliknya.
Setidaknya itu adalah stigma jumud yang membuat hidup lebih pesimis.

Oke, saya sederhanakan...

Banyak orang zaman sekarang tiba-tiba menjadi sangat kaya.
Sebagian lainnya menyangka bahwa kekayaan tetangganya, temannya, mantan calon mertuanya, atau siapapun yang dianggap “tidak pantas kaya”, semuanya—S-E-M-U-A-N-Y-A—didapat dari hal mistis, korupsi, atau jualan bahasa Arab, Inggris, dan Cina yang tidak banyak orang awam pahami.
Tragis.
Itu kebodohan tingkat dewa.

Maka dari itu, saya ingin sampaikan:
Detik ini, ada ribuan bahkan jutaan orang yang terus berusaha untuk tetap produktif secara digital.
Tidak kasat mata, dan produknya tidak dikirim via kantor pos.
Semua dikirim via sinyal, e-mail, toko elektronik.
Sangat cepat.
Super duper cepat.

Mereka bahkan sempat berpikir bahwa “lambat” adalah kata yang tidak perlu ditemukan.
Kita tidak butuh orang-orang lambat.
Begitulah kira-kira suara jutaan orang produktif yang memanfaatkan cepatnya kemajuan teknologi.

Dan pemerintah, tentu tidak ingin dibully dengan sebutan “sekumpulan orang lambat” yang tidak mampu menyediakan fasilitas ini dan itu.
Akhirnya, demi kemajuan teknologi yang lebih cepat dari santet tali gaib, lebih sadis dari penyihir Salem abad ke-17, pemerintah membangun infrastruktur—salah satunya pembangunan tol di mana-mana—untuk mengimbangi kecepatan itu semua.

That’s fair enough.
Cukup masuk akal.
Setidaknya bagi saya, yang tidak terganggu pola makan, tidur, dan pikir karena barang pesanan saya sampai begitu cepat.
Secepat saya mencari kepala vacuum cleaner langka untuk mesin jadul saya.
Secepat saya menyelesaikan transaksi pembayaran saat cuaca tidak mendukung untuk keluar rumah.

Oke, itu cerita absurdnya.
Terima kasih kalau tidak paham.

Lantas, bagaimana dengan orang-orang yang masih lelet?
Yang masih berpikir “loading lama”?
Mereka yang marah-marah karena tidak bisa mengejar apapun, padahal mereka tertinggal dari barang yang tidak pernah ingin mereka lepaskan: smartphone.
Mereka tidak bisa mengendalikan smartphone-nya yang memiliki fitur fast charging.
Saat ada satu urusan yang harus diselesaikan secara cepat, mereka tidak tahu harus berbuat apa.
Saya beri tahu: semuanya ada di smartphone Anda.

Dia terdiam.
Lama.
Tidak bisa berpikir sepintar telepon pintarnya.
Hanya ada satu kata yang tidak pernah hilang dalam diri orang-orang semacam ini:
Marah. Ngamuk. Baeud memboraks. Muka masam yang tahan lama.

Saya pun akan marah saat saya tidak produktif.
Saat semuanya tidak bisa diselesaikan secara cepat.
Para senior yang kalah cepat dengan junior akan mudah tersulut amarahnya.
Orang tua tidak mau menerima pola pikir anaknya yang banyak mengonsumsi ilmu pengetahuan via smartphone.
Marah karena tidak bisa menjawab puluhan bahkan ratusan pertanyaan “mengapa” dari anaknya yang baru berusia empat tahun.
Dosen yang setengah gila murka pada mahasiswanya karena mereka menyerap ilmu dari ratusan jendela digital, bukan dari dua buku dosennya yang nomor halamannya ngawur dan harganya mahal.
Karyawan, tenaga kependidikan, TU yang marah karena bekerja lambat saat konsumen memerlukan akses cepat.
Para penceramah mencari jawaban hitam berujung konspirasi, menyalahkan satu pihak karena banyak pertanyaan yang butuh jawaban cepat.

Sangat tragis.
Bak zombie yang terus dilanda kekuatan super cepat, orang-orang cepat akan menindas dan memangsa orang-orang lambat agar selevel dengan dirinya.
Tanpa marah.
Cukup menjadi zombie yang sangat cepat.

Maka dari itu, catatan ini adalah tumpukan dari cerita-cerita yang belum pernah saya ceritakan sebelumnya.
Ini adalah efek domino.
Jangan heran.

Ini tentang bagaimana Anda bekerja.
Apakah Anda hanya akan bekerja saat ada uang?
Atau saat itu semua adalah kewajiban Anda?

Apakah Anda pernah berpikir: dibayar atau tidak, ini adalah kewajiban Anda?

Apakah Anda hanya akan menolong orang menyeberang saat parkirnya dibayar, atau Anda bekerja demi kemanusiaan?
Dibayar atau tidak, Anda adalah satu-satunya yang berseragam oranye, mengalungkan peluit demi keselamatan orang banyak.
Pernahkah berpikir seperti itu?

Apakah Anda akan terus berpikir lambat, lambat, dan lambat?
Marah, marah, dan marah, seolah semuanya akan terselesaikan dengan amarah?

Buang smartphone Anda, dan mulailah membangun gua untuk hidup menyendiri saat Anda tidak bisa berpikir realistis melihat kemajuan zaman.

Think twice.


Comments