Kutipan Ketipan

“Sik... sik... sebentar, kalau tidak salah, iklan ini hanya ditayangkan di sini saja,” ujar saya sambil menunjuk layar televisi.

Tadi pagi, saat menyantap sarapan, saya dan istri menonton sekilas beberapa iklan.
Baru kami sadari, bahkan untuk tayangan pariwara pun kini sudah diasuh oleh satu stasiun TV tertentu.
Sebelumnya, kami memang sudah paham tentang kehadiran berita picisan dan cerita recehan yang diputar berulang di kanal yang sama.

Ibarat orang Sunda yang memahami singkatan SMD di gerobak tahu, kami berdua sudah tamat memperhatikan acara-acara televisi.
Terdengar seperti tidak ada kerjaan, memang.
Namun ini adalah aturan tidak tertulis yang kami sepakati: tidak banyak mengonsumsi berita mentah dari jejaring media sosial.
Kami khawatir sakit perut.

Kami tidak pernah dan tidak akan berdebat soal berita, apalagi cerita sebaran siluman dari grup-grup tertentu.
Kami hanya saling menatap saat melihat anggota grup menjelma menjadi Zeus, Sokrates, Plato, atau bahkan yang gerak-geriknya terendus seperti nabi palsu.
Ujungnya, kami hanya berkata, “Pasti perut dia sembelit.”
Lalu tertawa bersama.

Bukan tanpa alasan kami menonton TV seharian.
Kami rindu masa-masa jaya televisi yang dengan sadis menghabisi ketenaran radio.
Televisi saat itu sangat gagah—mungkin juga masih.
Namun bagi saya, sudah cukup lama terlihat tanda-tanda televisi mulai kalah oleh kemolekan internet.

Orang-orang betah mengobral dapur rumah tangganya di internet.
Anak SD rela dewasa sebelum waktunya karena bujuk rayu internet.
Mahasiswa ikhlas diperkosa intelektualitasnya di hadapan internet.
Para ustaz siap dicap musyrik karena memajang aktivitas ibadah demi al-mukarom internet.
Para guru, dosen, dan pendidik mendadak tak tahu alif sebesar tonggak karena silau terkena internet.
Dan masih banyak lagi kelompok orang yang berbondong-bondong menghamba, bertawasul kepada internet.

Saya dan istri kangen televisi.
Rindu berebut remote.

Namun ternyata, televisi pun sudah mengandung racun yang mematikan.
Ibarat racun ricin yang kemarin santer terdengar membunuh saudara tiri pemimpin Korea Utara, televisi juga memiliki racun yang mematikan—menyerang saraf otak, tentunya.

Bagaimana tidak?
Ada orang yang merah beranang karena lagu tertentu.
Ada yang merah merona karena partainya unggul versi quick count.
Ada yang merah telinga karena keyakinannya disudutkan.
Semua itu gara-gara satu kanal televisi.
Satu kanal saja.

Dan kami—saya dan istri—memerah muka saat salah satu stasiun televisi menayangkan acara asli Hindi dari pagi hingga malam.
Atau ketika sastra Indonesia kini dijadikan sastra bandingan bocah botak kembar asli Malaysia.
Malu.

Seperti air pembasuh kaki, bagi saya khususnya, berita masa kini hanyalah kutipan-kutipan, pendapat pakar murahan cetakan follower tersesat, atau liputan wartawan karbitan yang diperam oleh tumpukan “suka” dan “bagikan”.

Kami pun bersepakat untuk tidak memasukkan penyakit luar ke dalam rumah kami.
Biarkan kebebasan berpendapat dibatasi oleh satu kanal televisi tertentu.
Biarkan semua itu apa adanya.

Sarapan pagi tadi sungguh seperti biasa: nikmat.
Cumi asin dengan tumis kangkung.
Aromanya tercium hingga tanah suci.

Comments