Biasa
Sudah lama saya tidak menulis di Facebook.
Menyadari ada beberapa perubahan pada fitur-fitur besutan Zuckerberg ini—termasuk fitur note yang kini menjadi tautan berbayar—kami semakin malas untuk ber-SSI: speak speak iblis.
Biasa... mengetik apa pun di dunia maya ujung-ujungnya akan menjadi cerita iblis.
Mau ceritanya nyata, atau kisah yang diangkat dari pengalaman sungguhan, jika ditulis di dunia maya, tetap saja menjadi bagian dari alam khayal.
Singkatnya, senyata-nyatanya dunia maya, tetaplah maya—tidak nyata.
Dan sialnya, bagi sebagian tuan, itu akan dianggap sebagai iblis.
Kalau boleh berkhianat sebentar menjadi saintis:
Kerusakan terdahsyat di bumi ini adalah akibat para sastrawan yang telah meracuni alam manusia dengan alur-alur kehidupan ideal dalam tulisan mereka.
Mungkin inilah yang menjadikan alam ide lebih “suci” ketimbang alam mana pun—apalagi alam tulisan.
Mungkin.
Kami, kata para jari, ingin mempersembahkan seni bela jari kami lewat tulisan ini.
Kebetulan hari ini, kami ingin mengajak tuan kami menjadi manusia seutuhnya—makhluk campuran antara malaikat dan iblis.
Kalau ada manusia yang terus baik, itu bukan manusia.
Mungkin itu iblis yang sedang bertaubat.
Kalau ada manusia yang terus buruk, itu juga bukan manusia.
Mungkin itu iblis yang belum bertaubat.
Artinya:
“Come on, Tuan. Kita ber-SSI.”
Ajak para jari yang sedang semangat dan kompak memukul apa yang harus dipukul.
Lucu rasanya melihat telunjuk yang terdiam, menganga bingung karena otak belum menyuruhnya memukul apa yang harus dipukul.
Apalagi jari tengah—paling tinggi sendiri, tapi terlihat sangat bodoh di depan jari-jari lainnya saat menganggur tanpa ide.
Cingak-cinguk tak keruan.
Tapi jari tengah tidak sendirian.
Banyak manusia senasib dengannya: mereka yang sering memanfaatkan jimat biasa.
Jari tengah adalah teman kalian.
Biasa...
Biasa...
Dan... biasa...
“Mas, jadi berapa semuanya?”
“Biasa...” sambil bersalaman tanda jadi. Kami pun bingung.
“Pak, cara penilaiannya seperti apa?”
“Biasa...” sambil mengangkat teman kami, si jempol.
“Sstt! Eh... orangnya datang.”
“Lah, memangnya kenapa dengan orang itu?”
“Biasa...” sambil berbisik, menutup mulut dengan lima jari kami, tak tanggung-tanggung.
“Jangan baca tulisan dari sumber itu!”
“Kenapa?”
“Biasa...” sambil menggores dahi dengan setrip hasil karya si telunjuk.
Dan masih banyak lagi orang-orang jahanam yang gemar memakai jargon “Biasa...” sambil memanfaatkan kami.
“Benar tidak?” tanya para jari kepada si empunya.
Kemarin, kami—kata para jari—bersalaman dengan teman-teman kami yang sudah mapan.
Ada yang berbalut pancawarna, ada juga yang berselimut kecubung.
Kenapa harus kami yang memakainya?
“Yaa, biasa...”
Kami juga kerap menjadi pengawal setia lintingan tembakau masuk ke mulut, atau memasukkan benda-benda lain.
Kami baru tahu bahwa tombol on/off pada mesin-mesin canggih berpengaruh besar terhadap peradaban dunia.
Dan tombol itu—tombol paling penting sedunia—ada di bawah kendali kami.
Kata para jari.
Kenapa harus kami, coba?
“Biasa, lah...”
Kami juga pernah berselancar di dunia layar sentuh, menyaksikan banyak sekali tuan-tuan kami yang keedanan dengan karya kami.
Tuan kami sekarang banyak yang bekerja sebagai penulis paruh waktu, jurnalis freelance.
Kalau kami pribadi, sudah menyadari:
Dengan mudahnya para tuan mengetik kapan pun dan di mana pun, karya mereka menjadi picisan.
Itu sudah terbukti sejak awal abad ke-20, Tuan.
Itu bagi kami, kata para jari.
Entahlah bagi tuan-tuan.
Masih picisan atau tidak?
Kami sekadar mengingatkan:
Karya murahan hasil kami bekerja jletak-jletek siang malam di toilet atau di tempat tidur, jangan sampai membuat para tuan kalap.
Hasil seni kami—kata para jari—yang menjadi bacaan nantinya, hendaknya membuat tuan berpikir ulang:
Bahwa tuan dan kami adalah makhluk campuran antara malaikat dan iblis.
Kenapa kami harus mengatakan bahwa tidak semua bacaan (karya kami) layak dibaca, dan tidak semua yang terbaca harus ditulis?
Jawabannya:
“Biasa, lah...”
Teringat pesan dari teman-teman kami di abad ke-7:
Mungkin kalau junjungan kami mampu menulis dan membaca (alias tidak umi), kami tidak akan menghormatinya lagi.
Kami hormat karena tuan tidak biasa.
Kami tidak biasa membaca tuan-tuan yang senang menulis dan membaca dengan hati.
Kami salut terhadap kalian, Tuan.
Pungkas para jari, sang makhluk biasa.
Comments
Post a Comment