Bulan Bahasa

Akhir-akhir ini, saya kembali dipertemukan dengan bahasa PHP. Sebuah bahasa pemrograman yang dulu berhasil membuat saya malas mandi selama kuliah. Bahasa ini pula yang menemani masa menganggur menjelang sekolah lagi. Saya anak sastra, bukan pemrograman, tapi bagi saya keduanya memiliki bahasa. Saya gemar, itu saja.

Dulu, bahasa PHP sangat seksi di mata saya. Tapi sekarang, mengetik dan mencoba kembali kode-kode tersebut terasa seperti mencari satu jerami di pabrik jarum. Lumayan payah. Benar adanya: jika ingin memahami satu bahasa, gunakanlah.

Tentang bahasa pemrograman—entah itu Java, AS Flash, C++, Delphi, HTML—pada dasarnya sama: bersumber dari bahasa basis dua (biner), yaitu 1 dan 0. Siapa pun yang ingin belajar bahasa pemrograman, logikanya sederhana: jika ini nol, maka itu satu, atau sebaliknya. Seterusnya seperti itu.

Logika tiap orang akan berbeda dalam menjalankan satu perintah (dan saya merasa paling buruk dalam hal logika). Ada yang 1 1 1 0 0 1, atau 0 0 1 1 1 1. Akan banyak perbedaan, tapi intinya hanya dua bilangan tadi.

Catatan ini bukan tentang tutorial bahasa pemrograman atau pelatihan mengenali bahasa sastra.

Saya sering iri dengan orang yang menguasai banyak bahasa. Sopir bus, misalnya, paham dengan bahasa kendaraan yang ingin diparkirkan. Pedagang paham dengan bahasa pembeli yang sedang kebelet barang tertentu. Seorang ibu paham dengan bahasa bayi yang menangis tak kenal waktu. Hati paham dengan bahasa jasad dan pikiran yang sedang sakit. Saya iri betul dengan hal-hal semacam itu. Bukan poliglot, ya... lebih kepada bahasa kepekaan.

Tidak terlalu paham bahasa pemrograman bisa menimbulkan gangguan kecil (bug) dalam satu aplikasi. Bisa juga menimbulkan kemacetan parah, bahkan tabrakan, jika tidak paham dengan bahasa bus yang sedang parkir. Pedagang bisa rugi, bahkan kehilangan pelanggan, saat gagap memahami bahasa niaga. Seorang ibu mungkin akan tertekan saat tidak paham bahasa bayi yang menangis, atau sampai pada puncak tekanan, mengganti nama bayinya menjadi “Tida Nangis binti Tantram”.

Oh, atau hati yang ikut-ikutan sakit saat jasad dan pikiran sedang sakit; memutuskan cabut gigi saat gusi linu dan bengkak adalah tanda hati sedang tak waras. Memuji kejelekan orang dan menghina kebaikan orang adalah ulah hati yang tidak paham bahasa pikiran licik.

Saya tersenyum melihat fenomena tersebut. Rupanya saja banyak, tapi bagi saya hanya ada nol dan satu dalam tiap bahasa. Pilihannya tidak lebih dari dua. Baju bagus penuh warna, pilihannya: mana yang dipakai, mana yang tidak. Pekerjaan menumpuk, pilihannya: mana prioritas, mana bukan. Banyak laki-laki datang ke rumah, pilihannya: mana yang akan dinikahi, mana yang tidak. Ah, bagi saya hanya ada dua pilihan. 0 atau 1?

Saat bahasa biner keluar dari aturan, atau saat bahasa kalbu sudah jijik bau busuk, atau bahasa sehari-hari dibeli kepentingan, di sinilah bahasa sastra hadir sebagai penolong dalam berkomunikasi.

“01011001 01101111 01100111 01100001 00100000 01010011 01110101 01100100 01100001 01110010 01101001 01110011 01101101 01100001 01101110”

Saat membaca angka 0 dan 1 di atas membingungkan, hadirlah ikon atau emotikon yang memiliki bunyi atau tidak (non-verbal). Kalaulah bahasa biner di atas dipecahkan, maka akan hadir lambang:

“Yoga Sudarisman”

Dasar munafik. Beda rupa, tapi tetap 0 dan 1.

Mengatakan sakti untuk seseorang yang penuh cacat adalah karena bahasa sehari-harinya digadaikan demi status atau gelar. Si penutur—dalam hal ini—tidak dikatakan gila karena keluar dari kesepakatan banyak orang, justru terselamatkan dengan istilah ironi atau satir. Lagi-lagi, bahasa sastra hadir di sini. Oh, pantas, profesor itu sedang menyindir...

Padahal obrolannya tidak nyambung. Cacat kok sakti.

Dan seterusnya seperti itu. Seorang ayah mengatakan hal buruk pada anaknya, padahal jika dijelaskan, hati sang ayah sedang bermasalah dengan jasad dan pikirannya. Seorang dosen berbahasa tidak sesuai dengan perilakunya, tapi mahasiswa tidak sepenuhnya sadar bahwa dosen tersebut sedang menggadaikan bahasanya demi jabatan. Mahasiswa pun berbahasa sesuai dengan kepentingannya.

Anak tidak tahu kalau orang itu salah, tapi karena ayahnya berpenyakit dan mahir menularkan penyakitnya, maka anak tersebut menguasai bahasa “benci” terhadap orang-orang tertentu. Oh, mungkin ini namanya doktrin.

Saya masih tersenyum...

Karena saya sendiri bersembunyi dalam bahasa tertentu, yang pastinya 0 dan 1. Katakanlah baik itu 1 dan buruk itu 0, maka saya juga jelmaan bahasa basis dua. Saya punya kepentingan saat berucap ini, berbahasa itu. Sama seperti kalian yang sedang membaca satu berita, atau yang sekarang sedang membenci seseorang atau golongan, kalian punya kepentingan, punya bahasa tersendiri.

Setiap orang hidup dengan bahasanya masing-masing, dengan kepentingannya masing-masing. Lihat saja nanti, apakah ada bug dalam dirinya saat ia usil dengan bahasa orang lain, atau tidak?

Kita 1 dan orang lain 0 itu hadir dalam benak setiap orang. Kepentingan itu sudah diilhamkan (embedded) dalam diri kita. Faalhamahaa fujuurohaa wa taqwaahaa. Jahat 0 dan baik 1. Masih biner.

Saya tahu, kita bukan budak belian atau tikus busuk yang tidak berharga dan tidak memiliki kepentingan apa pun. Kita manusia bebas yang hidup dengan pendirian dan bahasa kita masing-masing. Mengapa kita ingin membunuh bahasa orang lain?

“Na marukan téh... hirup di dunya sosorangan.”

“Jangan berpikir hidup di dunia ini sendirian.”

Selamat Bulan Bahasa.

Comments