Catatan Syariah
Kalau dalam dunia seni, gerakan melawan sesuatu yang konvensional itu disebut gerakan absurd. Gerakan yang keluar dari arus utama, atau anak sekarang gemar menyebutnya dengan istilah anti-mainstream. Gerakan ini lahir setelah Perang Dunia ke-2. Kalau ada karya konvensional: realis, jurnalis, ekspresionis, transendental, dsb, maka ada juga karya absurd, karya yang keluar dari aturan konvensional, sederhananya seperti itu. Artinya, kalaulah karya absurd dianggap tidak berseni, itulah seninya. Kalaulah tidak dimengerti, itulah maksudnya. Itu seni absurd. Dan jelas, itu tidak merusak seni itu sendiri. Ada produk sandal beda warna, produk busana lengan panjang sebelah, atau headset wireless hanya untuk satu kuping, itu sah-sah saja. Toh nanti juga akan bermuara pada tingkat “dimaafkan” atau “dimaklumi”, bahan dasar konvensi. Satu orang memakai sandal beda warna akan dimaklumi, mungkin karena ia akalnya miring. Tapi satu kampung, satu provinsi, satu saluran televisi, satu negara akan “dimaafkan” jika semuanya memakai baju lengan panjang sebelah.
Seninya, manusia itu dikarunia ingat dan lupa. Ketika ingat ia punya logika, dan ketika lupa ia tidak ingat ia punya logika. Manusia adalah jelmaan malaikat dan setan. Jelmaan Power Rangers dan monster. Gabungan Tom dan Jerry. Fa almahaa fujuuroha wa taqwaaha. Justru, kalau ada manusia yang merasa benar selalu, atau selalu benar, atau selalu ingin menjadi Kesatria Baja Hitam ketimbang Gorgom sang raja monster, atau seolah semua cerita di muka bumi ini milik mereka sendiri, itu merusak karya seni ciptaan Tuhan.
Lupakan itu semua wahai penikmat konformitas.
Sekarang, marak terdengar bahwa gerakan melawan sesuatu yang konvensional itu disebut dengan gerakan syariah. Ada bank konvensional, ada bank syariah. Tidak ada bank absurd. Pegadaian absurd. Asuransi absurd. MLM absurd. Partai absurd, mungkin? Tidak akan ada. Karena untuk membuat yang absurd, para pembuat seni harus paham betul antara yang pasti dan yang tidak pasti, harus berani berbuat salah demi yang [nantinya] benar. Harus berani menipu agar mereka yang ditipu berpikir, di dunia ini tidak semuanya benar. Para absurdis adalah manusia kadang salah dan kadang benar yang diutus untuk memanusiakan manusia. Saya ambil contoh dalam karya absurd termasyhur “Menunggu Godot” karangan Samuel Beckett, Godot tidak pernah hadir sampai akhir cerita sekalipun sesuai kesepakatan dalam proses menunggu, mustahil yang ditunggu itu tidak datang. Tetapi pembuat seni absurd kepalang berani, ia berani untuk menipu semua tokoh-tokoh dalam ceritanya bahkan pembaca bahwa Godot bisa dihadirkan di mana saja dan kapan saja, sekalipun di luar cerita.
Sialnya, mereka yang menempelkan kata syariah di belakang produk mereka, tidak cukup berani untuk berbuat salah dengan menggantinya dengan istilah absurd. Mereka tidak mau menipu karena mereka bukan penipu. Mereka tidak ingin berbuat salah karena tahu yang benar itu akan selalu ada. Mereka bukan absurdis. Bukan yang tidak jelas. Mereka itu semuanya sudah jelas. Sebagai contoh lagi, partai syariah atau dikenal dengan partai berasaskan satu agama adalah partai yang paling benar dalam berpolitik, dan akan selalu benar. Nama bayi syariah atau nama bayi yang mempunyai arti baik itu akan baik dan selalu baik. Kanal televisi syariah atau saluran TV yang menghadirkan siraman kebajikan itu akan selalu baik untuk dinikmati dan dipercaya semua liputannya.
Saya ingin bertanya: “Siapa di antara kalian yang tidak pernah berbuat salah? atau sekarang gaya hidup kalian tidak salah? Atau mungkin pagi ini ada yang belum berbuat salah?” Acungkan tangan kalian. Acungkan tangan kalian kalau sekarang kalian sedang di kelilingi orang-orang yang benar. Saya traktir kalian naik haji gratis plus keliling Eropa kalau ada yang mengacungkan tangan.
Kalau ada yang doyan mengucapkan demi Allah demi Rasulullah dalam sumpahnya tanpa diminta, berarti ia sedang berbohong. Kalau ada manusia yang bersumpah dirinya paling benar, itulah kesalahan terbesarnya.
Ini adalah catatan syariah. Saya tidak cukup berani untuk menulisnya sebagai catatan absurd.
Blog
0 comments:
Post a Comment