Click n Share

Teringat masa lalu, saat saya terpanggil untuk mengucapkan subhanallah hanya karena melihat gambar tomat berlafazkan Allah. Lalu kembali terpanggil untuk mengucapkannya karena melihat gambar pohon yang menyerupai orang rukuk. Tak berhenti di situ, kali ini tidak ada alasan bagi saya untuk tidak mengucapkan subhanallah, karena sekarang ada gambar telinga bayi berlafazkan Allah. Benar-benar dahsyat gambar-gambar di internet itu. Subhanallah.

Aah, tapi itu masa lalu. Masa di mana untuk pergi ke warnet belum tentu satu minggu sekali—karena harus ada uang, harus ada keperluan, dan tak jarang batal gara-gara penuh antrean. Konon, pergi ke warnet tidak jauh berbeda dosanya dengan pergi ke diskotek, atau mungkin sama berdosanya dengan mabuk-mabukan. Lagi-lagi, itu masa lalu. Dan tidak keliru. Orang Yunani dulu juga tidak malu sering berbahasa mitos, sampai akhirnya peradaban mereka dicatat sebagai peradaban nomor satu di Eropa. Eropa, kiblat ilmu pengetahuan dunia itu, lho.

Intinya, tidak apa-apa dulu menganggap pergi ke warnet atau bioskop itu dosa. Karena orang Yunani dulu juga menganggap turunnya hujan sebagai tangisan sang dewa.

Dan sekarang, saya tersenyum. Bukan seperti Khalifah Umar yang kadang tersenyum karena beliau pernah lapar dan harus memakan tuhannya yang terbuat dari roti. Bukan. Saya tidak tersenyum karena Tuhan saya hebat dengan tomatnya, atau maha hebat karena telinga bayi—yang entah itu bayi siapa, saya tidak tahu silsilah keluarganya—karena dulu itu hanya gambar dan sepenggal kata-kata. Bukan karena itu.

Namun saya ikut menangis bersama Khalifah Umar, karena tuhannya itu bukan roti dan apalagi untuk dimakan. Saya menangis karena itu. Tuhan saya, Tuhanku, tidak hebat dengan tomatnya. Tidak juga karena salah satu pohon—entah hasil cangkokan, entah desain, entah sudut pengambilan gambarnya—yang terlihat menyerupai orang rukuk. Tidak juga karena muncul di tempat keluarnya kotoran telinga manusia.

Tidak. Tuhanku memiliki sifat Qiyamuhu binafsihi. Tidak berdiri dengan gambar yang perlu diklik, apalagi menjadi Maha Agung karena gambar yang harus dibagikan. Tuhanku tidak akan memberikan pahala bagi siapa pun yang membagikan gambar ini dan itu. Tuhanku tidak perlu dua ribu orang untuk menjadikan-Nya semakin hebat. Tidak perlu video yang ditonton jutaan orang untuk semakin terkenal. Allah, Qiyamuhu binafsihi.

Sekarang masanya sudah berbeda. Warnet ada di mana-mana. Modem USB dijual bak kacang goreng. Operator seluler bersaing menawarkan bonus. Sekarang bukan masanya orang menyembunyikan laptop di lemari dengan kunci ganda, lalu dimasukkan ke dalam tas ransel. Sekarang masanya laptop biasa terlihat tercolok di sudut kelas, tergeletak di atas meja ruang keluarga, menyala bebas dengan alunan musik di kosan. Sampai akhirnya teknologi laptop menjelma ke dalam bentuk telepon genggam bernama smartphone.

Sekarang sudah masanya itu. Bukan warnet yang saat monitornya mati harus dipukul atau digebrak. Sekarang monitor akan hidup dengan sentuhan halus bernama touchscreen.

Tapi memang, peradaban yang maju adalah tabungan dari masa lalu—yang dulu dianggap tabu, kini tidak lagi karena ilmu. Khususnya bagi saudara seiman, ilmu saja tidak cukup. Perlu keimanan yang kuat untuk menghilangkan sesuatu yang dianggap tabu. Karena istilah tabu, banyak orang menjadi taklid. Karena istilah tabu, orang memecah rasa penasaran dengan aksi nekat. Juga karena istilah tabu, mereka bisa merasa paling benar dibanding yang lain.

Geruslah istilah tabu dengan ilmu dan keimanan.

Geruslah seperti smartphone menggerus warnet. Geruslah taklidmu demi ilmu. Kini memijit mouse bukan hal tabu. Kamu boleh memijit mouse jutaan kali dalam sehari tanpa sepengetahuan pemilik mouse. Kalau ketahuan pun, kamu tidak akan berdosa dan tidak akan dihukum.

Apalagi jika kamu memiliki mouse sendiri, kamu bisa mengklik ratusan juta kali apa pun itu di depan monitormu. Kamu bisa bebas mengetik, “Subhanallah, bapak polisi ini dengan sukarela membantu para siswa mengerjakan PR-nya,” padahal itu gambar razia mingguan. Atau menuliskan, “Subhanallah, para Satpol PP ini membantu para pedagang menjajakan dagangannya,” padahal itu gambar penertiban pedagang kaki lima.

Kamu boleh menulis apa pun. Apa pun itu. Apa pun.

Orang tidak akan tahu kamu menulis, “Subhanallah, ada lafaz Allah di dalam kuping bayi,” padahal itu mungkin efek cahaya kamera yang bocor. Atau apa pun itu. Bebas.

Kini kamu sudah bisa mengklik. Mengetik tulisan sendiri. Mengedit gambar sendiri. Kini kamu sudah tidak kenal dengan tabu.

Tapi yang perlu diingat: sandingkan dengan ilmu. Jangan sampai kamu ingin menjadikan Tuhanmu Agung, malah terlihat seperti menjadikan-Nya rendahan di mata manusia lainnya.

Tuhanmu. Tuhanku. Allah Dzul Jalaali wal Ikroom, Qiyamuhu binafsihi, berdiri dengan zat-Nya. Tidak perlu kamu yang suka mengetik kata-kata agung untuk gambar editanmu.

(Garut, 17 Maret 2015)


Comments