E.P.K.

 Beberapa waktu kemarin, saya sempat 'blokir' tayangan TV lokal di rumah. Saya pikir orang rumah tidak membutuhkan tayangan-tayangan itu. Jujur saja, saya lebih senang melihat channel asing suguhan negara maju yang menghadirkan acara-acara hiburan ketimbang program televisi yang disiarkan di negara berkembang yang kebanyakan mengandung racun. Menurut saya. Masuk di akal ketika negara maju banyak menghadirkan acara-acara hiburan, karena sebagian besar warganya sudah sibuk dengan apa yang saya sebut puncak-kebosanan. Bayangkan saja, orang yang sudah mendapatkan ini dan itu atau hidup di lingkungan yang saling memenuhi, atau sudah mengerti dengan semua tujuan acara di televisi dan dapat memilih tayangan sesuai 'kesehatannya', tentu akan bosan dengan ragam acara motivasi bertajuk "menggapai kesuksesan" atau reality show "gebrak meja, walk-out di sidang dan teriak-teriak membuka aib teman sekantornya".


Acara hiburan memang acara pelarian dari kebosanan rutinitas yang itu-itu saja. Menurut saya mereka sudah bosan. Dan akhirnya mereka lebih bangga untuk menghadirkan acara ringan namun berbeda, seperti keunikan dunia satwa, permainan otak, penemuan alat-alat canggih, siang dan malam kartun atau sepanjang hari memperlihatkan situasi Masjidil Haram. Saya memilih menonton itu. Selain itu juga saya dapat mencerna acara apa saja yang mereka buat untuk masyarakat di negara berkembang yang sifatnya "merusak" dan menjadi tontonan massal tanpa berbayar. Singkat kata, menonton acara mereka saya berharap satu langkah lebih maju untuk menangkal tontonan 'racun' di negara berkembang yang sudah mereka kirimkan.


Lain hal dengan negara maju, negara berkembang saya ibaratkan dengan pengusaha yang sedang berkembang. Pengusaha yang sedang berkembang, ditawari pekerjaan dengan penghasilan yang lebih besar, langsung pindah. Ditawari dengan acara bisnisan yang katanya bisa menghasilkan uang dengan cara cepat, buru-buru meninggalkan bisnisan lama. Dibisikkan tetangga akan buka bisnisan yang sama, langsung sakit, karena katanya khawatir tokonya tidak laku. Dan parahnya, diajak untuk saling menghasut ini dan itu demi kesuksesan pribadi atau golongan, langsung bernafsu. Sederhananya, negara berkembang sering plin-plan dan cemas untuk hal-hal yang belum terjadi.


Maklum, perkembangan kadang disebut sebagai proses jalan di tempat. Gali lobang tutup lobang pun bisa terlihat sebagai sebuah perkembangan. Bukan kemajuan. Makanya tak heran acara-acara televisi di sini (saya menunjuk entah kemana) cenderung berisi tentang kebusukan, sampah, dan keisengan. Ditambah kualitas penonton yang memiliki hati dan pikiran kotor, mereka lahap semuanya tanpa dipilah mana yang bersih dan mana yang busuk. Maka jangan heran yang keluar dari mulut mereka, dari status mereka, dari pikiran mereka, tidak lebih dari ucapan-ucapan, status-status, dan pikiran-pikiran yang super kotor. Lhaaaa, kok saya jadi ngelantur kotor ke sana kemari. Pasti gara-gara TV lokal tidak diblokir. Hehe


Kalau program televisi adalah alat komunikasi, seseorang ada yang berpendapat tentang komunikasi. Komunikasi manusia itu bak sebuah teko. Apa yang keluar dari mulut adalah seperti apa yang dikeluarkan dari moncong teko. Sebuah teko berisi kopi maka yang keluar dari moncongnya adalah cairan keruh dan kadang pahit yang memiliki aroma kopi. Teko yang berisi susu maka akan keluar dari moncongnya cairan manis yang kadang tidak berbau. Pun halnya dengan mulut kita. Apa yang keluar dari mulut kita - harusnya - adalah apa yang ada dalam hati kita. Membaca orang yang suka menyakiti, tidak lain hatinya adalah penuh rasa sakit. Memperhatikan orang yang suka berapi-api penuh sensasi, boleh jadi hatinya memang tidak memiliki apa-apa lagi selain sensasi. Ketika mulut tidak sesuai dengan hati maka resikonya masuk dalam jurang kemunafikan. Orang yang dalam hatinya penuh kebencian dan ia berucap penuh keindahan bukankah itu disebut munafik?


Betul memang ketika hati sedang berapi-api marah hendaklah amarah tersebut dapat ditahan. Tentu tidak dengan mengindahkan semua kejadian. Bukan dengan mengidealkan kenyataan. Jangan mengatakan yang baik-baik di depan dan menerbitkan keburukan di belakang. Jauh akan lebih indah ketika marah atau konflik tersebut dapat diatur menjadi sesuatu yang berujung di fase memori indah apalagi dapat menjadi suri teladan. Bukan sebaliknya menjadi kenangan yang memalukan atau episode penuh penyesalan atau tontonan tidak jelas yang diimani para penonton berhati kotor. Program televisi yang menayangkan kebusukan - tentunya selain tuntutan industri - ada yang ingin disampaikan oleh media tersebut. Jelas sesuai dengan yang ditayangkannya. 


Bersihkan hati dan pikiran sebelum menonton. Demi kesehatan anda.


Mbo ya kalau tidak paham arti menonton, tidur saja. Juga untuk kesehatan anda.


Ini adalah catatan EPK, Eusi Peujit Kuring. Jangan diimani apalagi di-like, ingat kesehatan anda!


0 comments:

Post a Comment

Back to top