Fase Satir

 Pernah mendapati orang yang selalu menyindir? Atau mungkin bosan mendengar orang yang bossy (suka meraja)? Atau selalu merasa tersindir? Atau yang lebih menjijikan, ketika anda bicara sedikit langsung muncul orang usil menimpali dengan segudang stok (se) pengetahuannya tanpa dipinta terlebih dahulu? Anda tidak sendirian.

Hari itu, sore hari, di kelas drama, materi yang dibawakan adalah tentang satire (sindiran) dalam salah satu karya Bernard Shaw, Pygmalion, maka para pemateri yang terdiri dari mahasiswa dan mahasiswi mengutip pesan alegoris bahwa karya tersebut ingin menyindir golongan kelas atas yang membeda-bedakan kelas sosial hanya dari cara bicara seseorang. Sebagai contoh, ketika ada orang yang berbicara medok, maka akan diberi label orang kampung yang sepaket dengan status miskinnya.

Sampai sana, oke. Saya pahami. Dan untungnya, ada mahasiswi cantik berkerudung monokrom tidak paham dan bertanya: “Apakah sindiran dari karya tersebut berbuah hasil? atau pada akhirnya status sosial tidak pernah lagi dibeda-bedakan dari cara orang berbicara kala itu? Para pemateri tersenyum sambil memohon maaf dan berlanjut ke kalimat pamungkas“mungkin nanti bapak bisa menambahkan”.

Sampai sana, oke. Saya bingung. Dan untungnya, ada yang tersisa dari (se) pengetahuan saya yang berhasil direkam sampai disajikan ke dalam kata-kata berikut ini: “wahai mahasiswi berkerudung monokrom, satir atau sindiran tidak mensyaratkan adanya jawaban. Jadi, kalau ada perubahan ataupun tidak ada perubahan pasca-disindir, tugas satir sebetulya sudah selesai. “Lantas, kalaulah tidak ada perubahan, maka problematika sosial itu akan selalu ada dan tidak pernah terselesaikan?” monokrom menerukan pertanyaanya.

“Betul...” jawab saya singkat. Kembali mencari rekaman apapun yang tersedia untuk menemani jawaban “betul”. Akhirnya teringat beberapa fase satir oleh Northrop Frye yang kemudian saya langsung tulis di papan tulis dalam bahasa Inggris (seingat saya) dan untuk kepentingan catatan ini - dengan senang hati - saya terjemahkan sebagai berikut:

  1. Dunia ini akan terasa tidak normal (anomali). Akan selalu dipandang, dirasa, didengar tidak benar. Kita merasa hidup di dunia yang tidak aman. Saya mencontohkan sore itu dengan kasus “Kalau kalian di tempat umum ada yang menawarkan minuman, apakah akan diambil atau tidak?” Semuanya menjawab tidak akan. Semuanya. Beralih ke kasus yang kedua “Masih di tempat umum, ketika kalian melihat seseorang yang dirasa butuh pertolongan untuk diseberangkan dan tidak berpikir lama, kalian pun dengan berbaik hati akan menyeberangkannya, tapi kemudian tiba-tiba...dengan alasan keamanan dan kenyamanan, orang itu tidak mau diseberangkan. Apakah kalian tersindir atau tidak?” Para mahasiswa yang kece badai menjawab “Kami sakit hati, pak...” dengan polosnya mereka menjawab tanpa memikirkan apakah orang yang menawari minuman tadi sakit hati atau tidak. Masalah-masalah tersebut akan selalu muncul, dan katakanlah itu sebagai ketidaknormalan, maka anomali itu hanya dapat dirasa oleh beberapa orang saja.
  2. Bayangkan kalau kasus di atas terjadi dalam kehidupan beragama? Kalau dalam urusan rumah tangga? Kalau dalam urusan bernegara? Anomali di fase awal membawa manusia ke fase dimana akan selalu ada kelompok atau pihak (biasanya individu) yang mengkritik tanpa memberi perubahan. Kalau saya menyebut kelompok itu dengan kata penjahat, lebih halus dari Frye yang memanggilnya dengan sebutan rogue (bajingan). Selalu saja ada yang dikritik. Tidak ada yang benar di depan bajingan ini. Semuanya terlihat tidak beres. Tapi ketika ditanya solusinya apa? Mereka tidak tahu harus apa.
  3. Seiring berjalannya waktu, penjahat tersebut mulai memberikan solusi, mulai menggambarkan ada masyarakat yang ideal (happy society) tapi sialnya, solusi yang ditawarkan adalah versi dirinya. Atau kami -masyarakat modern- menyebutnya dengan istilah kebenaran subjektif. Setiap ada masalah, setiap muncul ketidaknormalan, penjahat tersebut mengatakan in my perspective...atau dalam bahasa Indonesia kalau menurut saya, ari ceuk urang mah, pami saur abdi, yen takon kula... sampai panjang lebar ia menjelaskan solusinya. Saya anggap mendingan sebetulnya dari fase kedua.
  4. Namun, coba perhatikan. Kalau semua individu berkata kalau menurut saya, ari ceuk urang mah, pami saur abdi, yen takon kula... kalau semua manusia punya solusi versi masing-masing, apakah akan menimbulkan perbedaan? Mahasiswi berkerudung monokrom memperhatikan penjelasan ini. Apakah akan menimbulkan perbedaan pendapat?? Saya ulangi lagi. “Pastiii, pak. Karena semua orang punya kebenaran yang dianut oleh masing-masing.” Dan Frye menyimpulkan perbedaan tersebut adalah kesalahan tiap individu yang akan berujung pada moral (baik dan buruk versi masing-masing) dan ini tragis. Ini tragis.

Para mahasiswa ada yang tidur. Ada yang bermain handphone. Saya tidak permasalahkan itu selama tidak mengganggu kawan-kawannya yang ingin mendengarkan. Karena saya tidak tahu versi benar menurut mereka. Belum sempat saya duduk, seseorang bertanya: “Jadi posisi kita seharusnya bagaimana, pak? Gini salah, gitu dicurigain, tidak memberi solusi dikata bangsat, memberi solusi dicap egois?” saya tersenyum. Bingung.

Tapi Frye mengatakan di fase selanjutnya:

5. Itu adalah hukum alam. Mau tidak mau, sadar atau tidak sadar, kita semua sedang memutarkan roda kehidupan yang rusak sekaligus nyaman. Artinya, kita semua berada di lingkaran itu. Pagi-pagi memberi nasihat, siang dinasihati. Sore memberi kritik, malamnya dikritik. Hari ini dikritik, besoknya coba-coba mengkritik. Minggu lalu digosipkan, minggu besok harus menggosip. Itu hal biasa.

6. Sampailah di fase terakhir yang kembali dunia menjadi tidak normal. Hanya saja lebih ironis. Semua fase sudah dijalani tapi belum (mungkin tidak) ada pencerahan. Bukankah itu ironis? Kita tahu tapi tidak memberi tahu, atau pura-pura tidak tahu atau bahkan kita sok tahu. Itu ironis. Atau sebaliknya kita tidak tahu tapi memberi tahu, atau pura-pura tahu atau bahkan kita tidak mau diberitahu. Itu ironis. Dunia menjadi ironis. Dan kembali ke fase awal. Malah semakin menakutkan dan menjadi lahan basah untuk saling mencurigai. Muncul lagi orang-orang yang mengkritik...

So, that’s all the phases of satire...question, please? seseorang mengacungkan tangannya. Kembali ia mahasiswi cantik berkerudung monokrom.

Yup, shoot it??!

Saya izin ke toilet, pak...

sumber:

Northrop Frye's Theory of Archetypes

0 comments:

Post a Comment

Back to top