Hisab Cepat

Tersenyum ia di atas motornya. Masih sekitar tiga kilometer lagi jarak yang harus ditempuh.
Beberapa menit sebelumnya, ia kehilangan uang dua ratus ribu rupiah dalam perjalanan. Lebih tepatnya, seluruh isi dompetnya terjatuh di tikungan hutan Sancang. Baginya, tersenyum adalah batu loncatan menuju kepercayaan. Ia harus percaya bahwa pasti ada hal terindah yang akan mengganti uangnya. Memang tidak secepat proses jatuhnya dompet, proses datangnya pengganti bukanlah sesuatu yang bisa ditunggu-tunggu. Menanti hanya akan terasa menjenuhkan.
Ia berdoa bagi siapa pun yang menemukan uang itu, semoga maslahat bagi kesehatannya. Malaikat yang mengaminkan doanya—tidak ada yang tahu. Termasuk tentang tekadnya yang tidak akan mengambil kembali isi dompetnya jika semisalnya ditemukan. Mungkin menurutnya, itulah arti ikhlas.
Hujan tak kunjung reda. Daripada mengingat-ingat siapa yang akan merawat dompetnya, ia lebih memilih mensyukuri keselamatan dan kesehatan yang ia dapat selama dua jam perjalanan tadi. Ia mampir sebentar ke warung kupat tahu setelah sebelumnya lama berteduh di perempatan Nanjung. Ia tersenyum manis memesan satu porsi.
Agak aneh memang—dengan uang seadanya dan kondisi tangki motor yang hampir mencapai tanda merah (E), ia malah jajan. Tapi pikirnya, lebih baik mendorong motor dalam kondisi kenyang dan sehat, daripada motor dibawa orang lain karena pemiliknya lunglai, tidak fokus, lalu celaka akibat kelaparan. Pikirannya melayang ke mana-mana.
Di warung bilik itu, banyak orang berteduh yang sekaligus pura-pura lapar dan memesan kupat tahu. “Ah, peduli amat,” mungkin begitu kata si penjaga warung. Yang penting laris manis, walau hujan mulai menggerimis. Tidak ada yang sadar bahwa hujan besar telah berubah menjadi gerimis.
Seluruh mata tertuju serius ke tabung layar 14 inci di atas etalase, berdekatan dengan blek kerupuk. Ini tentang Quick Count—penghisab tercepat sedunia versi orang sana. Maklum, sebagian besar mereka tidak berpendidikan tinggi dan awam teknologi. Apakah benar berita yang mereka lihat? Tidak ada yang menyangka kalau partai itu akan menduduki posisi nomor satu. Tidak ada yang berani berkomentar, apalagi menjajakan partai jagoannya. Tidak terlalu penting, dan memang sangat tidak penting.
Seseorang mulai beranjak meninggalkan warung. Seorang lelaki kembali mengenakan jas hujan kelelawarnya. Istrinya di belakang menggendong anak. Satu orang lagi mengikuti mereka. Sebatang rokok nangkring di mulutnya, tangannya sibuk mengangkat lipatan celana kainnya.
Hanya lima orang tersisa di warung itu, termasuk ia yang tak berdompet, yang kini semakin semringah. Entahlah. Dua pemuda di meja belakang yang cekikikan sedari tadi akhirnya keluar meninggalkan warung. Tinggal sepasang kekasih yang bersiap meninggalkan meja makannya. Kupat tahu mereka tidak habis. Bukan karena ketupatnya basi—sejak awal sudah bisa ditebak, tidak semua yang mampir ke warung itu benar-benar lapar.
Hilang dua pemuda yang cekikikan, diganti sepasang kekasih yang berdebat. Kali ini tentang siapa yang akan membayar kupat tahu. Wanita yang biasanya sangat matre, sore itu berlaga tidak ingin dibayari. Pacarnya, yang terlihat kampungan, malah tertawa sambil nyolong-nyolek dagu wanita menor itu. Genit.
Si wanita tetap pada pendiriannya. Kupat tahunya tidak ingin ditanggung oleh kekasihnya. “Urusi dulu ban motor yang bocor itu,” ujarnya kesal. Motor yang baru diisi penuh pertamax itu mengalami kebocoran ban sebelum mereka mampir ke warung.
Pikir si wanita, ini semua gara-gara uang temuan di jalan tadi. Seratus ribu untuk tangki motor, seratus ribu lagi untuk kupat tahu. Ia tidak ingin terjadi apa-apa dengan perut gendutnya. Jangan hanya gara-gara kupat tahu dibayari uang dari dompet merah temuan itu, masa depan perutnya berakhir di rumah sakit. “Ih, amit-amit jabang bayi,” ucapnya sambil mengetuk meja dua kali.
Apalagi dalam dompet merah itu terdapat kartu anggota partai yang sedang menduduki posisi pertama Quick Count. Partai yang memiliki rapor merah khusus dalam pelajaran sejarah—masih versi orang sana.
Ia yang tak berdompet hanya tersenyum mendengar itu. Seketika memalingkan wajahnya, seolah tidak ingin disamakan dengan foto wajah di KTP dompet merah. Ia semakin tersenyum lebar.
Ada hal terindah dari hilangnya dompet merah. Ada jalan sejuk menurun setelah letih menanjak. Ada anugerah terbesar setelah capek teraniaya nafsu. Ada pelita baru menyinari gelapnya sangkaan semua orang itu. Ada yang jauh lebih cepat menghisab dari semua kejadiannya. Lebih cepat dari Quick Count. Ternyata.

Comments