Jangan Pilih Baha
February 15, 2024
Posted by
yogaptek
| Waktu baca:
Dan [ingatlah] ketika mereka datang dari arah yang tidak disangka-sangka serta ramai mengunjungi rumahmu di waktu fajar untuk berjanji membangun rumah Allah (mesjid). Katakanlah wahai ibuku: “ucapan kalian sama dengan apa yang dikatakan orang-orang terdahulu di antara kalian, dan tahukah kalian bagaimana kesudahan orang-orang terdahulu?”
Ibro memberi penjelasan di depan sembilan ibu-ibu pengajian yang hampir semuanya tertidur. Tidak ada yang menjawab. Dan memang tidak perlu ada jawaban. Maklum, aktivitas ibu-ibu itu di siang hari sangat melelahkan. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai petani. Ibro bukan santri di pesantren, apalagi kuliah. Ia tidak pernah lulus SMA. IQ-nya juga tidak setinggi teman-temannya yang mendaftar sebagai caleg. Namun ada hal lebih dari IQ jongkoknya itu, yakni ESQ-nya yang memuai berbeda di antara teman lainnya.
Pernah satu waktu, sahabat dekatnya yang mendaftar sebagai caleg dari partai Islam, yang katanya sangat Islami, mendatangi rumah Ibro. Kedatangannya tidak lain hanya ingin mengajak jemaah pengajian Ibro untuk bersama-sama “meluruskan” paku pilihan di bilik suara nanti. Kebetulan, 5 bulan terakhir ini Ibro belajar ngaji dengan pak Mahmud, tetangga sebelahnya yang sekaligus menjabat sebagai DKM Mesjid Jami’ di kampungnya.
Baha, begitulah nama temannya itu ia sapa. Caleg itu adalah lulusan teknik Elektro tahun 2008 kemarin. Ia mencalonkan dengan satu alasan, karena ia merasa terpanggil. Entahlah, siapa atau apa yang memanggilnya. Tapi kalau yang menyuruhnya, semua warga kampung Legok Hangseur tahu. Surtinah, wanita paro baya yang hampir di tiap warung kampung meninggalkan jejak utang, ialah yang menyuruh Baha. Surtinah adalah istrinya sendiri. Bukan tanpa alasan Surtinah membesarkan hati Baha untuk ikut meramaikan bursa caleg. Selain dari para tetangga yang kebetulan TV-nya berasap karena petir atau jam mesjid yang berputar terbalik, Baha tidak mempunyai pendapatan tetap. Setidaknya itu yang sempat keluar dari mulut Surtinah ketika ngobrol di warung Teh Rana siang ini, sambil tertawa membawa kangkung yang kali ini ia bayar, ganjil memang.
Sore itu, Baha membagikan sticker ke Ibro. Ada juga titipan uang dari partai Islamnya untuk dibagikan kepada para jema’ah pengajian Ibro. Uang silaturahmi itu pun tak luput dari pungutan liar Surtinah. Untuk makan panitia KPPS, katanya. Diintipnya amplop yang tidak direkat itu, terlihat uang berwarna biru satu lembar. Tidak lebih tidak kurang.
“Ya, insya Allah cukup untuk 10 orang jemaah pengajian luw, Bro.” Ucap Baha sambil menepak bahu Ibro. Seolah dekat. “Masih 10 orang, kan? Atau berkurang setelah Mak Neni meninggal, Bro?" Lanjutnya tersenyum mirip kuda yang tali kekangnya ditarik mendadak.
Setelah hampir satu jam menerangkan visi misi ke depannya, bahkan tentang visi misi partai Islamnya itu, Ibro berucap “Alhamdulillah, Ha, kalau luw merasa terpanggil, kalau luw punya dan tau visi misi partai luw. Awas, yak, nanti di kampanye, jangan bilang kisi-kisi lagi kaya kita ngobrol tadi. V-I-S-I M-I-S-I, jangan lupa. Jujur gue seneng, Ha, salah satu sohib gue ada yang dateng ke sini buat silaturahmi. Meskipun yaa....” Ibro tidak melanjutkan ucapannya. Diseruputnya kopi yang sudah mulai mendingin.
“Hahaha...ya gue ngerti, Bro. Memang jarang orang yang datang ke rumah luw.” Baha tertawa, kali ini sudah sama dengan kuda Mataram. “Tapi, insya Allah dengan duit itu, silaturahmi ini akan tetap memanjang. Bukankah dengan silaturahmi rezeki kita akan bertambah? Haha itu buktinya, Bro! Iya, itu buktinya!” Baha terang, senang.
“Bukan gitu, Baha!” Ibro mulai meninggikan nada suaranya. Amplop yang tergeletak di pahanya ia ambil dan dilempar ke atas meja. “Selama hampir sejam luw seperti kesurupan. Ga sadar dengan yang luw ucapin. Ga paham dengan yang luw idam-idamin. Bahkan visi misi partai Islam luw pun, ga sesuai dengan ajaran Islamnya.” Sambung Ibro.
“Oke, Bro, sori kalau uangnya dikit, tapi...”
“Apalagi itu!!” Ibro memotong Baha. “Luw tau Sar’aun S.Ag?” Ibro bertanya ke Baha.
“Si Aon, Bro? Si Aon yang nyaleg dari partai sekuler itu? Padahal dia S.Ag, lho, Bro” Baha berucap.
“IYA!! Si Aon kemarin datang ke sini bagiin 15 al-Qur’an yang sudah distempel namanya lengkap dengan nomor urutnya. DI JILID Al-QUR’AN!!”
“Astagfirullah, Bro” Baha geleng-geleng kepala seolah dirinya paling benar saat ini.
“Itu 15 al-Qur’an gue tolak!! Apalagi ini, duit 50 ribu!!” Ibro beranjak dari tempat duduknya. Membuka pintu rumahnya.
“Ar-roosy wal murtasy fin naar... yang menyuap dan yang disuap sama-sama dalam neraka, Baha.” Ibro berucap, menatap tajam mata Baha.
“Gue takut, Ha, takut! 5 bulan gue ngaji sama haji Mahmud aja gue dah ngerasa berat dengan ilmu yang gue pahami, yang musti gue amalin...apalagi sekarang gue nemuin masalah kaya gini. Ampun, Ha, gue ga ikutan!” Ibro menatap langit dari pintu rumahnya yang terbuka.
“Ya, Bro, terima aja duitnya. Urusan lu milih apa kaga mah, terserah luw, Bro” Baha pun ikut beranjak. Membereskan bungkus rokok dan menyimpannya di saku kemejanya.
“Ambil duitnya, Ha! Pliiss.” Pinta Ibro serius. “Luw ngerti, kan, kenapa orang yang membunuh dan yang dibunuh dalam satu perkelahian sama-sama di neraka?” Tanya Ibro.
“Ya karena yang dibunuh, sama-sama punya niatan ingin membunuh juga?” jawab Baha.
“Itu baru niatan, Ha. Apalagi ini, gue ambil duitnya, gue ga jalanin amanah dari duitnya. Gue sudah masuk kaya luw. Apalagi duitnya ga jelas dari mana. Apalagi ke makan sama anak keturunan gue. Apalagi dijadiin bangunan mesjid yang bakal tahunan dipake sholat, apalagi...”
“Ah, elu mah lebay, Bro...ya udah gue ambil lagi duitnya. Buat bayar utang rokok ini hahaha...” Baha tertawa lebar sambil berlalu.
Lupa meninggalkan salam.
Blog
Subscribe to:
Post Comments
(Atom)
0 comments:
Post a Comment