Jangan Pilih Baha

Dan [ingatlah] saat mereka datang dari arah yang tidak disangka-sangka, ramai mengunjungi rumahmu di waktu fajar untuk berjanji membangun rumah Allah (masjid). Katakanlah, wahai ibuku: “Ucapan kalian sama seperti yang dikatakan orang-orang terdahulu di antara kalian. Dan tahukah kalian bagaimana kesudahan mereka?”

Ibro memberi penjelasan di depan sembilan ibu-ibu pengajian yang hampir semuanya tertidur. Tidak ada yang menjawab, dan memang tidak perlu ada jawaban. Maklum, aktivitas mereka di siang hari sangat melelahkan. Kebanyakan berprofesi sebagai petani. Ibro bukan santri pesantren, apalagi mahasiswa. Ia tidak pernah lulus SMA. IQ-nya pun tidak setinggi teman-temannya yang mendaftar sebagai caleg. Namun ada satu hal yang membedakannya: ESQ-nya yang memuai lebih dalam dibanding teman-temannya.

Pernah suatu waktu, sahabat dekatnya yang mencalonkan diri sebagai caleg dari partai Islam—yang katanya sangat Islami—datang ke rumah Ibro. Tujuannya hanya satu: mengajak jemaah pengajian Ibro untuk bersama-sama “meluruskan” paku pilihan di bilik suara nanti. Kebetulan, lima bulan terakhir ini Ibro belajar ngaji dengan Pak Mahmud, tetangga sebelah yang juga menjabat sebagai DKM Masjid Jami’ di kampungnya.

Baha, begitu nama sahabatnya itu. Ia lulusan Teknik Elektro tahun 2008. Mencalonkan diri karena merasa terpanggil. Entahlah, siapa atau apa yang memanggilnya. Tapi kalau soal yang menyuruhnya, semua warga kampung Legok Hangseur tahu: Surtinah, wanita paruh baya yang hampir di tiap warung kampung meninggalkan jejak utang. Ia adalah istri Baha sendiri.

Bukan tanpa alasan Surtinah membesarkan hati Baha untuk ikut meramaikan bursa caleg. Selain karena tetangga yang TV-nya berasap akibat petir atau jam masjid yang berputar terbalik, Baha memang tidak memiliki pendapatan tetap. Setidaknya itu yang sempat keluar dari mulut Surtinah saat ngobrol di warung Teh Rana siang itu, sambil tertawa membawa kangkung yang kali ini ia bayar. Ganjil memang.

Sore itu, Baha membagikan stiker ke Ibro. Ada juga titipan uang dari partai Islamnya untuk dibagikan kepada para jemaah pengajian. Uang silaturahmi itu pun tak luput dari pungutan liar Surtinah—katanya untuk makan panitia KPPS. Ia mengintip amplop yang tidak direkatkan, terlihat selembar uang biru. Tidak lebih, tidak kurang.

“Ya, insya Allah cukup untuk sepuluh orang jemaah pengajian, Bro,” ucap Baha sambil menepuk bahu Ibro, seolah dekat.
“Masih sepuluh orang, kan? Atau berkurang setelah Mak Neni meninggal, Bro?” lanjutnya sambil tersenyum mirip kuda yang tali kekangnya ditarik mendadak.

Setelah hampir satu jam menerangkan visi misi ke depannya, bahkan tentang visi misi partai Islamnya itu, Ibro berucap,
“Alhamdulillah, Ha, kalau kamu merasa terpanggil, kalau kamu punya dan tahu visi misi partaimu. Awas, ya, nanti saat kampanye, jangan bilang ‘kisi-kisi’ lagi seperti obrolan kita tadi. V-I-S-I M-I-S-I, jangan lupa. Jujur saya senang, Ha, salah satu sahabat saya datang ke sini untuk silaturahmi. Meskipun ya...”
Ibro tidak melanjutkan ucapannya. Ia menyeruput kopi yang mulai dingin.

“Hahaha... ya saya ngerti, Bro. Memang jarang orang datang ke rumahmu.”
Baha tertawa, kali ini sudah seperti kuda Mataram.
“Tapi insya Allah, dengan uang itu, silaturahmi ini akan tetap terjaga. Bukankah dengan silaturahmi rezeki kita bertambah? Haha, itu buktinya, Bro!”

“Bukan begitu, Baha!”
Ibro mulai meninggikan nada suaranya.
Amplop yang tergeletak di pahanya ia ambil dan lempar ke atas meja.
“Selama hampir sejam kamu seperti kesurupan. Tidak sadar dengan ucapanmu. Tidak paham dengan apa yang kamu idamkan. Bahkan visi misi partai Islammu pun tidak sesuai dengan ajaran Islamnya.”

“Oke, Bro, maaf kalau uangnya sedikit, tapi...”

“Apalagi itu!” potong Ibro.
“Kamu tahu Sar’aun S.Ag?”

“Si Aon, Bro? Yang nyaleg dari partai sekuler itu? Padahal dia S.Ag, lho.”

“Iya! Si Aon kemarin datang ke sini membagikan 15 Al-Qur’an yang sudah distempel namanya lengkap dengan nomor urutnya. Di jilid Al-Qur’an!”

“Astagfirullah, Bro...”
Baha geleng-geleng kepala, seolah dirinya paling benar saat itu.

“Itu 15 Al-Qur’an saya tolak! Apalagi ini, uang lima puluh ribu!”
Ibro beranjak dari tempat duduknya, membuka pintu rumahnya.

“Ar-roosy wal murtasy fin naar... Yang menyuap dan yang disuap sama-sama di neraka, Baha.”
Ibro menatap tajam ke arah Baha.

“Saya takut, Ha, takut! Lima bulan saya ngaji sama Haji Mahmud saja sudah terasa berat dengan ilmu yang saya pahami, yang harus saya amalkan... apalagi sekarang saya dihadapkan dengan masalah seperti ini. Ampun, Ha, saya tidak ikut-ikutan!”
Ibro menatap langit dari pintu rumahnya yang terbuka.

“Ya, Bro, terima saja uangnya. Urusan kamu memilih atau tidak, terserah kamu, Bro.”
Baha ikut beranjak, membereskan bungkus rokok dan menyimpannya di saku kemejanya.

“Ambil uangnya, Ha! Tolong.”
Pinta Ibro serius.
“Kamu ngerti, kan, kenapa orang yang membunuh dan yang dibunuh dalam satu perkelahian sama-sama masuk neraka?”

“Ya, karena yang dibunuh juga punya niat ingin membunuh?” jawab Baha.

“Itu baru niat, Ha. Apalagi ini: saya ambil uangnya, saya tidak jalankan amanah dari uang itu. Saya sudah masuk seperti kamu. Apalagi uangnya tidak jelas asalnya. Apalagi kalau termakan oleh anak keturunan saya. Apalagi dijadikan bangunan masjid yang akan dipakai bertahun-tahun untuk salat. Apalagi...”

“Ah, kamu lebay, Bro... ya sudah, saya ambil lagi uangnya. Buat bayar utang rokok ini. Hahaha...”
Baha tertawa lebar sambil berlalu.

Lupa meninggalkan salam.


Comments