Apakah Anti-Hero Masuk Surga?



Saya sering bertanya pada mahasiswa tentang sosok hero dalam karya fiksi: ‘Apakah mereka merestui jagoan mereka berbuat kejahatan?’ Sebagian besar mengatakan, “Saya rela, ikhlas dan bahkan akan tetap mendukungnya sampai titik darah penghabisan.” Tentu jawaban mereka tidak sepanjang itu. Saya melebih-lebihkannya. Yang jelas adalah saat sosok protagonis tidak mempunyai kualitas baik bahkan sangat sedikit menitipkan moral baiknya, yang menjadi panutan pembaca/penonton adalah tetap, sosok yang mempuyai cerita tersebut.

Di lain kesempatan saya bertanya: ‘Kalian akan mendukung mana saat Spiderman harus berkelahi dengan seorang nenek-nenek yang berjilbab?’ sebagian besar mahasiswa masih menjawab Spiderman. Bukan tanpa alasan pula ketika mereka masih mendukung Robinhood sang pengutil, atau Hamlet sang pendendam, atau ibu Malinkundang sang pemarah, atau mungkin jagoan komik Hellboy yang jelas-jelas berasal dari neraka, atau mungkin rela mengantri berjam-jam demi melihat Dominic Toretto melakukan perbuatan tidak menyenangkan terhadap pak polisi. Bukan tanpa alasan. Mereka tetap yakin itu adalah pahlawan mereka. Yang mereka baca, mereka dengar dan yang mereka lihat, itulah yang membuat mereka yakin bahwa pahlawan adalah manusia yang harus disanjung, dibela, bahkan diperingati.


Kemarin saat saya berteduh dari hujan di dekat makam pahlawan kota Garut, saya berdoa pada Tuhan: ‘Tuhan, tolong, tolong masukkan semua pahlawan di sini ke taman Eden, atau ke taman Firdaus, mereka itu adalah pahlawan, Tuhan.’ Kilatan petir sesekali memancar, seolah itu sebuah jawaban.


Saya sempat berpikir juga dengan kejadian beberapa minggu lalu tentang seseorang yang mengaku nabi, itu juga mungkin masuk ke dalam kategori pahlawan. Entah oleh siapa. Katakan oleh ibunya mungkin. Sedari kecil manusia itu dikenalkan dengan beberapa sifat nabi bonus dengan mukjizatnya. Sudah besar tidak heran kalau banyak manusia yang mengaku nabi atau sedikitnya merasa sebaik nabi, ketimbang musuh-musuh nabi. Walaupun tidak dipungkiri, kebanyakan yang terlihat justru adalah sifat-sifat musuhnya. Tapi tetap saja bagi para ibu, anak-anaknya yang titisan iblis sekalipun tetap dikatakan baik seperti para nabi. Anak-anaknya koruptor tetap dikatakan cerdik seperti kancil. Bahkan ada yang tahan harga kalau anaknya tidak akan dinikahkan kecuali dengan laki-laki yang level ketampanannya setingkat nabi Yusuf. Ah, selain pahlawan konvensional ternyata ada juga pahlawan syariah.

Tidak ada peribahasa air susu dibalas dengan air tuba. Cinta ibu tidak bertepuk sebelah tangan. Semua orang bangga dengan ibunya masing-masing. Ada yang memajang fotonya di HP, wallpaper di laptop, di medsos, menjadi suara alarm pagi hari, terselip sebagai pembatas lembar al-Quran atau mungkin di dompet. Semuanya sepakat menganggap ibu adalah pahlawan. Hingga semua manusia di dunia fana ini memiliki hari spesial untuk ibu mereka masing-masing. “Terima kasih wahai bani Adam.” Semua ibu pasti berbisik itu sebagai rasa sukurnya. Sebentar saya kenalkan kalian dengan para wanita pelanggan klinik aborsi ilegal, mereka itu adalah ibu-ibu. Sampai sini jangan dikomentari dulu. Mereka itu adalah ibu-ibu yang sudah melahirkan anak-anaknya entah berakhir dengan kehidupan ataupun berawal dengan kematian. Ada lagi ibu-ibu yang mengantar anaknya sekolah atau ke supermarket naik motor tanpa helm dan mementingkan memakai piama pink hello kitty. Status ibu tetaplah menjadi panutan di hati para anaknya. Pahlawan sejati bagi anak-anaknya. Makanya diam, jangan heran kalau mahasiswa saya masih mendewakan Spiderman ketimbang nenek-nenek berjilbab tadi, karena nenek-nenek itu bukan ibunya.

Satu lagi yang masuk ke dalam kategori pahlawan adalah pahlawan berdasarkan usianya. Pernah mendengar kasus anak kecil yang membunuh? Anak kecil di bawah umur yang melakukan pembunuhan itu, foto-fotonya harus disensor sana-sini dengan alasan mereka masih punya masa depan, khawatir jiwanya terganggu. Atau demi kepentingan catatan ini: ‘Siapa tahu kelak anak kecil tadi menjadi pahlawan’. Nenek-nenek yang mencuri juga masih dikatakan pahlawan ketimbang penegak keadilan. Karena hampir semua orang yang membela sang nenek tidak mau tahu kondisi nenek itu saat ia berusia 25-40 tahunan. Yang mereka tahu, sekarang ia adalah nenek-nenek. Saya tidak sedang mengatakan itulah perbedaan usia produktif dengan non-produktif. Kalau usia produktif, mengambil barang siapapun tidak akan ketahuan karena memang sedang lihai di usianya. Berbeda dengan usia senja, semuanya serba melambat. Lari tertangkap. Loncat pun tidak mungkin. Langit terlihat menguning, materi untuk berbohong pun seolah ketinggalan zaman.

Saya masih berteduh di depan makam pahlawan. Hujan belum reda. Kilatan petir masih seperti blitz kamera. Sayup-sayup terdengar dari balik air mata awan ini: ‘Beberapa pahlawan akan masuk Firdaus, tetapi tidak sedikit juga pahlawan yang tidak akan mencium baunya Eden.’ Saya melihat kiri dan kanan memastikan bisikkan itu hanyalah halusinasi. Dan memang itu hanyalah halusinasi. Tapi saya penasaran bertanya dalam hati: ‘Tapi kenapa Tuhan? Mereka juga, kan, pahlawan?’ Akhirnya bisikan itu datang lagi ‘Karena Taman Terindah di hari Pembalasan itu tempatnya masih bergengsi, yakni untuk mereka yang mampu percaya dan yang berbuat baik. Sedang pahlawan tidak selalu baik.’ Saya bersegera menyalakan motor, tidak banyak bertanya lagi tentang standar baik itu seperti apa... Karena takut disuruh menghubungi pahlawan HAM.


.2015.

Judul asli: pahlawan tidak selalu baik

0 comments:

Post a Comment

Back to top