Apakah Anti-Hero Masuk Surga?
Catatan, 2015 Saya sering bertanya kepada mahasiswa tentang sosok hero dalam karya fiksi: “Apakah kalian merestui jagoan kalian berbuat kejahatan?” Sebagian besar menjawab, “Saya rela, ikhlas, dan bahkan akan tetap mendukungnya sampai titik darah penghabisan.” Tentu jawaban mereka tidak sepanjang itu—saya melebih-lebihkannya. Yang jelas, saat sosok protagonis tidak memiliki kualitas baik, bahkan sangat sedikit menitipkan moral, yang tetap menjadi panutan pembaca atau penonton adalah tokoh utama dalam cerita tersebut. Di lain kesempatan, saya bertanya, “Kalian akan mendukung siapa saat Spiderman harus berkelahi dengan seorang nenek-nenek berjilbab?” Sebagian besar mahasiswa tetap menjawab: Spiderman. Bukan tanpa alasan mereka mendukung Robin Hood sang pengutil, Hamlet sang pendendam, ibu Malin Kundang sang pemarah, Hellboy yang jelas-jelas berasal dari neraka, atau rela mengantre berjam-jam demi melihat Dominic Toretto melakukan pelanggaran terhadap polisi. Mereka tetap yakin: itulah pahlawan mereka. Yang mereka baca, dengar, dan lihat, itulah yang membentuk keyakinan bahwa pahlawan adalah manusia yang harus disanjung, dibela, bahkan diperingati. Kemarin, saat saya berteduh dari hujan di dekat makam pahlawan kota Garut, saya berdoa kepada Tuhan: “Tuhan, tolong, masukkan semua pahlawan di sini ke Taman Eden, atau ke Taman Firdaus. Mereka itu pahlawan, Tuhan.” Kilatan petir sesekali memancar, seolah menjawab. Saya sempat berpikir tentang kejadian beberapa minggu lalu: seseorang mengaku sebagai nabi. Mungkin ia juga masuk kategori pahlawan—entah oleh siapa. Katakanlah oleh ibunya. Sedari kecil, manusia dikenalkan dengan sifat-sifat nabi, lengkap dengan mukjizatnya. Maka saat dewasa, tidak heran jika ada yang mengaku nabi, atau merasa sebaik nabi, ketimbang musuh-musuh nabi. Walaupun tidak dipungkiri, yang terlihat justru sering kali adalah sifat-sifat musuhnya. Tetap saja, bagi para ibu, anak-anaknya yang titisan iblis sekalipun tetap dikatakan baik seperti para nabi. Anak-anak koruptor tetap dikatakan cerdik seperti kancil. Bahkan ada yang bersikeras bahwa anaknya tidak akan dinikahkan kecuali dengan laki-laki yang level ketampanannya setingkat Nabi Yusuf. Ah, selain pahlawan konvensional, ternyata ada juga pahlawan syariah. Tidak ada peribahasa “air susu dibalas dengan air tuba” dalam kamus cinta ibu. Cinta ibu tidak bertepuk sebelah tangan. Semua orang bangga dengan ibunya masing-masing. Ada yang memajang fotonya di ponsel, menjadikannya wallpaper laptop, suara alarm pagi, pembatas lembar Al-Qur’an, atau terselip di dompet. Semua sepakat: ibu adalah pahlawan. Hingga semua manusia di dunia fana ini memiliki hari spesial untuk ibu mereka. “Terima kasih, wahai Bani Adam.” Semua ibu pasti berbisik itu sebagai rasa syukur. Sebentar, saya kenalkan kalian dengan para wanita pelanggan klinik aborsi ilegal. Mereka juga ibu-ibu. Jangan dikomentari dulu. Mereka adalah ibu-ibu yang sudah melahirkan anak-anaknya—entah berakhir dengan kehidupan, atau berawal dengan kematian. Ada pula ibu-ibu yang mengantar anaknya ke sekolah atau ke supermarket naik motor tanpa helm, lebih mementingkan memakai piyama pink Hello Kitty. Status ibu tetap menjadi panutan di hati anak-anaknya. Pahlawan sejati. Maka jangan heran jika mahasiswa saya lebih mendewakan Spiderman ketimbang nenek-nenek berjilbab tadi—karena nenek-nenek itu bukan ibunya. Satu lagi yang masuk kategori pahlawan: pahlawan berdasarkan usia. Pernah mendengar kasus anak kecil yang membunuh? Anak di bawah umur yang melakukan pembunuhan, foto-fotonya harus disensor dengan alasan mereka masih punya masa depan. Khawatir jiwanya terganggu. Atau demi kepentingan catatan ini: “Siapa tahu kelak anak kecil tadi menjadi pahlawan.” Nenek-nenek yang mencuri juga masih dikatakan pahlawan ketimbang penegak keadilan. Karena hampir semua orang yang membela sang nenek tidak mau tahu kondisi nenek itu saat ia berusia 25–40 tahun. Yang mereka tahu: sekarang ia adalah nenek-nenek. Saya tidak sedang membahas perbedaan usia produktif dan non-produktif. Tapi saat usia produktif, mengambil barang siapa pun tidak akan ketahuan karena memang sedang lihai. Berbeda dengan usia senja—semuanya serba melambat. Lari tertangkap. Loncat pun tidak mungkin. Langit terlihat menguning. Materi untuk berbohong seolah ketinggalan zaman. Saya masih berteduh di depan makam pahlawan. Hujan belum reda. Kilatan petir masih seperti blitz kamera. Sayup-sayup terdengar dari balik air mata awan: “Beberapa pahlawan akan masuk Firdaus, tetapi tidak sedikit juga pahlawan yang tidak akan mencium baunya Eden.” Saya menoleh kiri dan kanan, memastikan bisikan itu hanyalah halusinasi. Dan memang itu halusinasi. Tapi saya penasaran bertanya dalam hati: “Tapi kenapa, Tuhan? Mereka juga, kan, pahlawan?” Akhirnya bisikan itu datang lagi: “Karena Taman Terindah di Hari Pembalasan itu tempatnya masih bergengsi. Hanya untuk mereka yang mampu percaya dan berbuat baik. Sedangkan pahlawan tidak selalu baik.” Saya bergegas menyalakan motor. Tidak banyak bertanya lagi tentang standar baik itu seperti apa... karena takut disuruh menghubungi pahlawan HAM.

Comments
Post a Comment