Pesan Ibu

Nak, sebagai informasi awal: membaca catatan ini tidak bergaransi apa pun. Kamu tidak akan menjadi berani seperti catatan absurd berjudul “Baca Kalau Berani”. Kamu tidak serta-merta menjadi peka, simpati, apalagi naik haji hanya karena menyempatkan satu detik untuk menulis kata amin atau menyukai di kolom komentar. Pahalamu juga tidak dijanjikan bertambah karena membagikan catatan ini. Terakhir, yang paling penting: kamu tidak akan ujug-ujug menjadi kece hanya karena menyukai catatan ini. Tidak. Sekali lagi, tidak.

Pesan ini disampaikan oleh seorang ibu kepada anaknya.

“Wahai anakku, bagaimana kabar hari ini?”

“Wah, Bu, tambah muak. Orang-orang di terminal, di bus, di berita koran, di tempat kerja—tingkahnya semakin memuakkan,” jawab anak perempuannya yang baru sampai rumah.

“Kalau seperti itu, jangan-jangan yang semakin memuakkan itu justru kamu, Nak. Bukan yang lain,” jawab sang ibu.

“Lho, kok bisa?”

“Kalau orang yang kamu temui setiap hari sama dengan anggapanmu, bahkan semakin hari semakin parah menurut versimu, berarti mereka nyaman dengan jalan itu dan tidak merasa perlu memperbaiki apa pun. Sedangkan kamu sendiri seolah berada dalam kondisi pesakitan. Tiap hari merasa tidak nyaman dan resah. Tiap hari seolah tidak ada hari yang cerah.”

“Tapi kan, Bu... saat mereka tahu tentang larangan namun tetap melakukannya, seharusnya mereka tidak nyaman. Saat mereka sering berbagi postingan motivasi sarat hikmah, sebaiknya mereka juga gemar menyemai perilaku terpuji. Bukan sebaliknya. Bukan membagikan postingan hasutan berapi-api penuh amarah, padahal mereka tahu betul bahwa marah itu mesti dikelola, bukan dijaga. Api marah itu tidak perlu capek-capek dijaga agar tetap menyala atau siap dinyalakan kapan pun.”

Seorang pedagang di bus tadi murka, Bu, karena jambu airnya yang harganya tiga ribu rupiah per bungkus tidak ada yang beli. Ia sesumbar bahwa Tuhan tidak adil karena telah menumbuhkan pohon yang buahnya tidak disukai banyak orang, dan sialnya tumbuh di belakang rumahnya. Dasar.

Di jok depan, ada wanita menor paruh baya berbisik sinis kepada suaminya yang berpeci tentang penumpang seksi yang turun di depan kantor kecamatan tadi. “Seperti itu perusak moral bangsa,” katanya singkat. Malah suaminya yang berlama-lama berkomentar, seolah semuanya itu salah guru, media, alim agama, dan orang tua. Duilah.

Sayang mereka berdua tidak tinggal serumah dengan wanita seksi tadi. Mungkin tidak akan ada ucapan seperti itu kalau mereka tinggal bersama. Sayang juga mereka hanya mengenal wanita itu selama tiga jam sejak naik bus. Kalau marah dan membenci itu mudah dan semua orang bisa melakukannya, kenapa mereka tidak bisa tersenyum? Bukankah lebih berat mengubah mendung menjadi cerah ketimbang mengubah cemberut menjadi semringah? Aneh.

“Itu yang membuat mereka tampak semakin menjijikkan, Bu. Di mana-mana marah. Di sini buruk sangka, di sana juga. Sebelah sini sinis, sebelah sana panas.”

Anakku,

Kalaulah bapak kita, Adam, fokus pada gangguan makhluk laknat bernama Iblis, maka Nuh akan fokus pada godaan anak dan kaumnya yang dungu. Kalaulah Musa fokus pada godaan Raja Fir’aun dan kaumnya, maka Raja Sulaiman akan berfokus pada godaan harta dan kuasa yang melenakan. Kalaulah Yusuf fokus pada godaan saudaranya dan keindahan rupa, maka Luth akan fokus pada godaan kaumnya penyuka sesama jenis. Kalaulah Ibrahim digoda oleh ayahnya dan Namruj, maka Isa dan Yunus pun akan tahu mereka harus berfokus untuk siapa. Para nabi dan rasul itu fokus pada masalah yang sesuai dengan kadar ujian mereka. Maka kita pun seharusnya sama.

Sudah menjadi hak manusia sekarang untuk mendapatkan materi kisah penuh warna tersebut, dan menjadi kewajiban kita untuk menyiapkan semua itu sebagai bahan ujian. Muhammad dan kita akan dihadapkan pada manusia jelmaan Iblis, kelompok jelmaan kaum Sodom, presiden titisan Fir’aun, pemerintahan titipan Namruj, sahabat titipan Qorun, teman sekantor rupaan Abu Jahal, penumpang seksi titipan istri Luth, wanita menor titisan istri Abu Lahab, keturunan kita mirip anak Nuh, dan orang-orang yang kita percayai secara perlahan mirip Musailamah al-Kadzab—nabi palsu.

Jadi, tidak usah heran dengan ujian pancawarna ini, atau bertindak hebat seolah semuanya bisa dihadapi dengan mudah dan marah.

Anakku, kelebihan yang kita miliki adalah kita bisa mengajak. Tapi jangan lupakan bahwa kelebihan orang lain adalah mereka bisa menolak. Kita sesekali harus mengingatkan orang lain, maka izinkan juga orang lain sesekali melupakan kita. Jangan sampai ujian yang mudah terlewati membuat kita bangga, sementara ujian yang susah terlewati membuat kita marah. Orang yang ikut kita disukai, yang tidak ikut dibenci.

Anak perempuannya terdiam sesaat, lalu bertanya:

“Lantas orang yang menceritakan tentang kejadian di kantornya, berkeluh kesah tentang orang-orang di bus, ataupun nyinyir tentang orang-orang yang berbagi artikel absurd penuh kebencian, titisan siapa, Bu?”

“Ikhlas. Jangan marah, Nak.”

Comments