Pre-Wedding
Turaes kampung berbunyi sangat nyaring. Biasanya hinggap di batang pohon kelapa, menggetarkan pagi yang masih malas membuka mata.
Musim kemarau sudah tiba. Saat Minggu Dhuha, saya berangkat ke Selatan.
Sepatu baru Cibaduyut berputar bergaya di depan cermin. Jas blazer biru hadiah dari Ibu saya kenakan. Dasi belang biru milik Bapak ternyata cocok dengan blazer pemberian Ibu.
“Saya ganteng pagi itu,” kata Ibu, mantan pacar Bapak.
“Bahkan seperti mau lamaran,” kata mamanya Fadil sambil menyipitkan mata.
Demi kebaikan saya dan si Jalu, saya tidak membawa laptop. Tidak saja demi efisiensi, tapi juga demi keselamatan.
Memang, ke mana-mana si Jalu selalu bersama saya. Teringat memori indah saat itu, di tikungan setelah Kadungora.
Jalu berpesan kepada saya lewat deru mesinnya: jangan melawan Wanaraja.
Bus jurusan Garut–Jakarta melintas. “Wanara berarti monyet, dan raja berarti king,” ungkap salah satu mahasiswa Sunda jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
Saya pun menurutinya. Saya menuruti Jalu. Wanara besar berlalu, meninggalkan asap hitam pekat.
“Jalu, Jalu, Jalu...” Kadang saya berbicara lewat spidometernya.
Kalau terjadi apa-apa di antara kita, tanggung semuanya bersama. Itu janji kami. Tidak terucap, tak terdengar, tapi teguh setia lewat setang.
Kadang ia mendengar, kadang juga cuek. Persis seperti saya memperlakukannya.
Namun kami sepakat untuk: bismillahi tawakaltu...
Katakanlah semuanya sudah siap. Saat Minggu Dhuha, saya berangkat ke Selatan.
Berkas untuk dua kelas rapi dalam satu tas. Tiga menit cukup untuk membuat Jalu panas.
Dan... jalanan terasa sepi. Cahaya matahari membelot besar-besaran ke arah Selatan.
Angin Selatan berhembus sangat dingin. Sialnya, terasa tajam.
Laju angin, gerak kami, mobil pikap merah—semuanya beradu bacot dengan spidometer si Jalu.
Langit biru cerah kadang terlihat gelap, terang, gelap, lalu terang lagi.
Saya tidak sadar kalau semuanya serba sangat cepat.
Saat Minggu Dhuha, saya berangkat ke Selatan. Entah mengapa, saya berada dalam mobil pikap.
Jalu terkapar di jalur kanan. Ia memang begitu. Janji kami dilanggarnya.
Maafkan semuanya. Semua terjadi sangat cepat.
Saya bergegas turun, mendekati spion pikap. Dengan antusias, saya bersalaman dengan pengemudi pikap.
Ia shock. Tidak bisa berucap apa-apa. Peci putihnya diangkat, dipakai, kadang ditenteng. Gugup.
Pak Haji kaget setengah mati. Apalagi saya. Setengah hidup.
Jalu yang terkapar malu-malu mengakui kalau ia khilaf mencium si Pikap merah.
Saya hanya tersenyum manis di spion pikap. Wajah ini kian memanis, kalah cepat dengan cairan bau amis yang keluar dari pelipis.
Awan berarak dari Selatan ke Utara. Warga dari seberang berdatangan. Demi Tuhan, mereka tidak tahu tentang semua kejadian.
Kata anak kecil zaman dulu, kata orang tua zaman sekarang, kata si Ibu: ini tanda-tanda anaknya harus segera dinikahkan.
Tentu tidak dengan dokter Budi, yang sore itu langsung perhatian kepada saya. Oggah.
Comments
Post a Comment