Rindu Undercover
Ini kisah tentang yang lalu. Masa lalu.
Pernah satu waktu, saya berbicara dengan seorang doktor yang kini menjabat sebagai dukun. Saya pun tak bisa membayangkan bagaimana seorang doktor membuka praktik perdukunan—atau semacam itulah. Doktor yang beberapa bulan lalu baru menyelesaikan disertasinya dari jurusan matematika, kini sibuk dan lebih tertarik pada hal-hal di luar hitungan matematis, sering pula di luar kerangka teoritis. Ia mencari batu akik, mendatangi makam, menemui para “penjaga” kampung, dan sebagainya.
Anehnya, ia ingin menjodohkan anak semata wayangnya dengan saya. Saya hanya tersenyum, dan ia terlihat bingung. Biarlah, yang lalu biarlah berlalu. Ternyata saya rindu anakmu yang belum pernah saya temui itu—yang dalam istikharah ini, petunjuk-Nya selalu mengarah kepadanya.
Ada juga saya temui ibu-ibu penjual pecel dalam kereta, yang kesehariannya dihabiskan di atas rel. Mondar-mandir mencari orang lapar yang kebetulan ingin pecel. Saya ingat siang itu, semuanya seperti dalam film aksi: kejar-kejaran antara para pedagang dan petugas keamanan yang baru masuk di Stasiun Kebumen, arah Yogyakarta.
Ibu penjual pecel menyeret barang dagangannya dengan kaki kanan, menyembunyikannya di bawah jok, lalu duduk tenang di samping saya. Sangat tenang. Bahkan sempat berakting menelpon seseorang di luar sana, seolah seperti penumpang biasa. Di akhir cerita dalam kereta, ia tersenyum ke arah saya. Saya bingung. Ah, yang lalu biarlah berlalu. Saya rindu pecelmu itu—pecel yang ternyata saya lupa tidak membayarnya. Salahkan kondisi ya, Bu. Semuanya panik, kok.
Di lain hari, ada pesan masuk di ponsel saya: “Hai, masih ingatkah sama saya?” Saya menjawab singkat, setelah berpikir panjang:
“Tidak.”
Kembali di satu malam, masih dengan nomor asing—berbeda dari malam sebelumnya: “Aa sehat? Kok jarang kelihatan...” Seketika malam itu menjadi hening. Saya tidak pernah membalasnya.
Lain malam, lain hari, lain pengirim, lain pesan: “Hey, jangan sombong atuh, dosa...” Malam itu sangat hening. Saya memblokir nomornya. Saya yakin, di ujung sana ada yang sedang tersenyum dan ada yang sedang bingung.
Ah... yang lalu biarlah berlalu. Tapi sejujurnya, saya rindu kalian. Namun saya malu. Saya tidak tahu kalau nomor itu ternyata milik kalian, duhai mustami’ pengajian. Maaf kalau saya pernah menyebut kalian tidak punya adab karena mengirim pesan tanpa nama—di majelis ta’lim, di depan ibu-ibu lainnya, saat kita membahas adab silaturahmi di zaman modern. Tapi ternyata... siapa yang tidak punya adab?
Ah, rindu kalian semua. Untuk mereka yang sempat ‘terlupakan’ dalam hidup ini. Semoga kalian senantiasa berada dalam alur yang semestinya—dalam sunatullah dan hakikat yang sepantasnya.
Kini akan saya curahkan segala rindu ini. Saya ingin menyapa orang yang pertama kali membantu ibu melahirkan saya.
“Hai... apa kabarmu, Mak?”
Mungkin sudah puluhan bayi yang terselamatkan lewat ilmu Emak. Atau mungkin ratusan? Sudah hampir 25 tahun kita tidak bertemu, sejak Emak menyelamatkan adik saya. Semoga Emak sehat. Kalaupun sudah tiada, semoga Emak tetap disayang Allah. Ada salam dari ibu, Mak. Maaf, kami tidak tahu keberadaan Emak sejak pindah ke Garut Selatan 18 tahun silam.
Untuk matahari Kamis Desember, 27 tahun silam—yang katanya terik, yang katanya saya lahir tepat pukul 12 siang—tak perlulah saya mengucapkan terima kasih untukmu. Cukup Inca dan Maya yang gemar memujamu. Saya hanya takut dan patuh kepada penciptamu. Rindu ini untuk-Nya. Maaf.
Untuk kalian, wahai hujan yang pernah mendekap saya dan almarhumah nenek. Kami terdiam di tepas rumah beliau puluhan tahun silam. Masih ingatkah kalian? Kalian sudah berhasil membuat saya takut, bahkan sampai menangis. Berulang kali saya ingin pulang ke rumah ibu. Tapi nenek berkata, “Tunggulah sampai hujannya reda. Hujannya deras sekali...” Saya rindu suasana itu. Dan saya jadi rindu matahari Kamis Desember di atas.
Oh iya, untuk sopir angkutan pasar yang pagi-pagi buta membawa saya ke tempat mantri sunat. Saya diantar teman-teman SD naik mobilmu menuju seseorang yang akan membersihkan saya—membantu menyelesaikan sebagian ajaran Ibrahim. Saya tidak bisa memberimu apa pun, bahkan sebatang rokok saat dingin kala subuh itu. Saya masih ingat, dinginnya sangat menyumsum.
Terima kasih untuk segalanya. Teman-teman saya sangat senang naik mobilmu. Ada salam dari mereka yang sekarang sudah mapan. Sudah ada yang punya mobil juga, lho.
Dan masih banyak lagi, duhai kalian korban rindu undercover ini. 😄
Salahkan hujan, ya. Saya jadi menulis ini.
Comments
Post a Comment