Semuanya Gara-gara Doa Itu!!
Setelah beberapa hari dilanda ketidakjelasan, akhirnya saya memberanikan diri untuk berkatarsis ria—mencurahkan segala gundah—melalui catatan ini. Hehe... setidaknya itu membuat saya lebih tenang.
Alhamdulillah, saya termasuk orang yang mampu melihat kekurangan dalam diri sendiri (dan mohon doanya agar saya juga mampu mengoreksinya). Saat sakit ini dan itu, saya dimudahkan untuk mengetahui penawar yang cocok bagi raga. Atau saat dilanda kesedihan, insya Allah saya langsung disuguhkan berbagai solusi kebahagiaan. Alhamdulillah.
Jangan terlalu lama terjebak dalam arus drama kehidupan. Cobalah sesekali keluar dari arus utama. Insya Allah, menyegarkan.
Puja dan puji memang hanya milik Allah seutuhnya.
Saya bisa seperti ini tentu karena Allah menghendakinya.
Allah memberikannya karena saya memintanya.
Mintalah kepada-Nya, niscaya Dia akan memberikannya.
Kalian pikir doa kalian tidak dijawab?
Allah menjawab dengan berbagai cara: mengabulkannya, menundanya, atau menggantinya dengan yang lebih baik dan lebih cocok untuk kalian.
Lantas, apa sebenarnya yang saya pinta?
Hmmm... saya yakin, ini semua gara-gara doa itu.
Pada zaman dahulu, kaum Badui Arab sering meminta kebaikan hanya untuk kehidupan dunia.
Agar kaum Muslimin tidak mengikuti jejak mereka, Allah menurunkan surat Al-Baqarah ayat 201–202:
“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: ‘Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.’
Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”
(QS. Al-Baqarah: 201–202)
Ternyata, itulah doanya.
Doa untuk keseimbangan hidup, yang kita kenal sebagai doa sapu jagat:
“Rabbanaa aatinaa fid-dunya hasanah, wa fil-aakhirati hasanah, wa qinaa ‘adzaaban-naar.”
Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat, serta peliharalah kami dari siksa neraka.
Doa ini memang singkat, tapi kedahsyatannya luar biasa.
Hasanah (kebaikan) di dunia itu seperti apa?
Meskipun bentuk kebahagiaan tiap orang berbeda, saya yakin harapan semua manusia berkisar pada hal-hal umum:
Hidup sehat, rezeki yang cukup, pasangan yang saleh/salihah, anak-anak yang baik dan berguna, keluarga yang makmur, serta kehidupan yang aman dan nyaman.
Ulama kontemporer Mesir, Yusuf Qardhawi, memberikan beberapa tips untuk meraih kebahagiaan dunia (yang sekaligus menjadi bekal kebahagiaan akhirat).
Menurut beliau, kebahagiaan adalah kedamaian.
Jadi, untuk mendapatkan kebahagiaan, kita harus menciptakan perdamaian.
Pertama, damai dengan Allah.
Sebagai manusia, sudah sepantasnya kita berdamai dengan Allah.
Bagaimana caranya?
Pertanyaan ini pernah saya ajukan dalam sebuah majelis bersama ibu-ibu.
Kebanyakan menjawab: “Melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.”
Benar juga.
Saya menambahkan:
Berdamai dengan Allah bukan hanya soal menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, tetapi juga menerima dengan ikhlas segala ketetapan-Nya.
Saat kita berburuk sangka terhadap musibah atau ujian dari-Nya, itu artinya kita belum sepenuhnya berdamai.
Kerjakan perintah-Nya, jauhi larangan-Nya, dan hadirkan ikhlas, syukur, serta sabar dalam setiap ketetapan-Nya.
Insya Allah, kita akan dan telah berdamai dengan-Nya.
Kedua, damai dengan sesama.
Ini mungkin yang paling sulit.
Saat kita ingin berdamai dengan tetangga, teman, kerabat, atau sesama, tapi mereka tidak ingin berdamai dengan kita—itulah yang sering menjadi beban pikiran.
Sebenarnya, tak perlu terlalu dipikirkan.
Niat baik kita sudah tercatat oleh para malaikat.
Lalu bagaimana jika orang lain memusuhi, memfitnah, atau bahkan berusaha membinasakan kita?
Islam sudah mengaturnya dengan solusi yang adil dan bijaksana.
Pernahkah kalian mendengar hadits tentang orang-orang muflis (merugi)?
Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat:
“Siapa orang yang paling merugi?”
Para sahabat menjawab: “Orang yang bangkrut dalam perniagaan, modal tidak kembali.”
Rasul menjawab:
“Orang yang merugi bukanlah yang bangkrut dalam bisnis, melainkan orang yang di dunia gemar beramal saleh, namun di akhirat tidak memiliki pahala karena habis digunakan untuk membayar amalan buruknya.”
Orang yang tidak ingin berdamai dengan kita, bahkan membinasakan kita dengan ucapannya, secara otomatis sedang mentransfer pahala amal baiknya kepada kita.
Dan secara otomatis pula, amalan buruk kita berpindah kepadanya.
Tidakkah kalian menginginkan bonus pahala saat dihisab nanti?
Hinaan orang lain tidak membahayakan kita.
Yang membahayakan adalah saat kita membalas menghina.
Saya pikir itu adil—bahkan lebih dari adil.
Ketiga, damai dengan diri sendiri.
Terakhir, perdamaian harus dilakukan dengan diri sendiri.
Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka sedang menyiksa dirinya sendiri.
Atau membawa raganya ke jurang kehancuran.
Contoh:
Saat kita hasad, kita membiarkan amalan baik kita dimakan habis oleh sifat iri, seperti api melahap kayu bakar.
Saat kita bergunjing, kita rela mengubah status kita menjadi kanibal—pemakan daging sesama.
Saat kita berbuat zina, kita menjerumuskan diri ke dalam kenistaan.
Ajaklah diri ini untuk menjauhi hal-hal yang merusak jasmani dan rohani.
Promosikan perdamaian dalam diri, demi kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dengan memanjatkan doa keseimbangan hidup—doa sapu jagat—baik terasa maupun tidak, Allah sudah memberikannya kepada mereka yang memintanya.
Yuk, tetap selipkan doa tersebut dalam setiap pinta kita.
Wallahu a’lam.
Comments
Post a Comment