The Sidewalker
Minggu Pagi di Jantung Kota
Minggu pagi, saya berjalan kaki menyusuri jalan yang ramai pengguna.
Jalur itu terbentang antara Kerkhoff dan Pengkolan, terpisah oleh satu jembatan beton yang mulai usang.
Ratusan toko berjejer, menanti transaksi.
Penjual bunga lebih dulu tersenyum laris—hiasan bunganya dibeli dua santriwati cantik, dibingkai dalam vandel kenang-kenangan untuk perlombaan sekolah se-Garut.
Saya memperhatikannya sekilas, samar.
Hari libur, tapi santriwati itu tetap bersekolah.
Mereka memang libur setiap Kamis.
Lupakan tentang bunga dan santriwati cantik.
Di depan saya, ada penjual burung.
Wajahnya masih murung, belum terlihat senyum.
Anis, Murai Batu—burung-burung mahal.
Kandangnya yang ringan disemprot pelan, seolah menyambut matahari.
Tak jauh, penjual CD bajakan menggelar dagangan: VCD, DVD, MP3 di emperan.
Menunggu siang sambil merokok dan mengopi.
Lagu “Oplosan” diputar keras-keras, bikin pusing.
Pedagang di sampingnya menjual tutut.
Mulutnya menjungur, mungkin karena terlalu banyak mendengar “Oplosan”.
Pembeli lebih memilih tutut daripada lagu itu.
Rezeki memang tidak akan ke mana-mana.
Tapi kalau tidak ke mana-mana, rezeki pun bisa terasa sulit.
Saya melewati jembatan dekat toko sepatu 39.
Hanya deretan ruko yang tampak indah, berhadapan dengan Dinas Perdagangan Garut.
Toko kue Larissa baru buka.
IBC Garut mulai menggeliat di hari Minggu.
Di belakangnya, senam pagi berlangsung.
Ibu-ibu berpakaian warna-warni menari.
Beberapa laki-laki ikut serta—mereka yang berkorban demi istri.
Kini saya berdiri di seberang perempatan.
Lapangan tenis berada di depan kantor PLN.
Studio foto berdampingan dengan gerai handphone.
Saya belok ke arah gereja—tempat ibadah yang berdampingan dengan sekolah unggulan Kristen Garut.
Dulu, saya pernah bercita-cita masuk sekolah itu.
Tapi itu cerita masa lalu.
Ada toko perkakas baru, sistem kredit.
Letaknya di samping Kodim Garut.
Ternyata benar, esa hilang dua terbilang.
Mie Ayam GL Veteran tutup.
Saya hanya melihat tempat tujuan saya: kantor BJB yang menjulang tinggi.
Hari Minggu, semua bank tutup.
Tapi tidak dengan mesin ATM-nya.
Saya melangkahi Jalan Jenderal Ahmad Yani.
Katanya, hari Minggu adalah Hari Bebas Kendaraan.
Car Free Day, begitu mereka menyebutnya.
Saya berjalan di jantung kota.
Uang saya simpan di saku atas—dekat jantung.
Sangat hati-hati saya menjaganya.
Tapi rupanya, tidak semua berhati.
Ada mobil melindas Jalan Ahmad Yani.
Padahal jalan itu seharusnya bebas kendaraan.
Seorang petugas patroli memberi pengumuman:
Sekali lagi, mobil Grand Livina berpelat hitam harap dipindahkan dari Jalan Ahmad Yani.
Satu hari untuk Ahmad Yani yang sehat, bebas dari karbon monoksida kendaraan bermotor.
Sekali lagi, kepada Grand Livina.
Sekali lagi, dan sekali lagi.
Para pengguna jalan mulai gelisah.
Mereka mengerumuni mobil hitam itu.
Pemiliknya entah ke mana, mungkin sembunyi.
Saya yakin, ia malu-malu.
Kucing Anggora dan Persia ramai berkumpul.
Ada komunitasnya di kota Garut.
Ada juga komunitas Siberian Husky.
Garut memang sudah menjadi kota.
Sekali lagi, kepada Grand Livina.
Pengeras suara masih menggema, merangsang perhatian warga.
Pengumuman tentang jalan bebas mobil, disampaikan dari petugas yang... naik mobil.
Saya tersenyum melihat kucing dan anjing.
Seolah mereka pun mengerti maksud saya.
—
Garut, 1 Juni 2014
Waktu Dhuha.

Comments
Post a Comment