Tuan Putri dan Nenek-nenek




Teringat permainan Nintendo waktu kecil: Super Mario Bros.
Saat Mario dan adiknya, Luigi, berusaha menyelamatkan seorang putri yang dikurung di kastil berpenjaga naga.
Entah apa tujuan Mario membantu, tapi itulah misi utama gim tersebut: menyelamatkan sang putri.
Melewati berbagai level, keluar masuk pipa got, dan melenyapkan rintangan adalah cara tercepat agar bisa bertemu sang putri.

Tapi... pernahkah kalian berpikir, bagaimana jika putri yang dikurung di kastil itu sebenarnya tidak ingin ditolong?
Iya, saya baru kepikiran sekarang.
Walaupun saya sudah sering menamatkan gim tersebut—alias menyelamatkan sang putri—dulu saya tidak pernah berpikir ke arah sana.
Bagaimana kalau sang putri justru kecewa dengan kedatangan Mario?

Mungkin ia berkata,
“Mengapa kamu bermain gim terus, Mario? Tidak memikirkan hal lain. Jangan pikirkan saya!”
Atau mungkin,
“Biarkan saya berteman dengan Luigi!”

Kadang, saya harus sampai ke titik itu.
Sampai ke arah di mana saya bisa berpikir seperti itu.

Teringat kembali sebuah cerita tentang seorang pemuda yang pagi-pagi pergi ke kampus dengan semangat ingin berbuat amal baik.
Ia bingung, kebajikan apa yang bisa dilakukan di pagi hari.
Lalu ia melihat seorang nenek di perempatan lampu merah sedang mengelus dada.
Sang pemuda bergegas turun dari motornya, menarik tangan si nenek, bahkan menggendongnya karena sedikit kesulitan.
Dengan susah payah, ia menyeberangkan si nenek dan bersyukur telah beramal saleh demi kebaikan si nenek.

Tapi setelah menurunkan si nenek, ia malah dipukul dan dicaci maki:
“Sontoloyo! Gue baru saja nyebrang ke sana, sekarang malah balik lagi ke sini!”

Si pemuda bingung, apalagi saat dilihatin pengendara lain yang berhenti di lampu merah.
“Lha tadi nenek ngapain lihat ke ujung jalan sambil ngelus dada? Bukannya enggak bisa nyebrang?” tanyanya.

“Bukan! Gue tadi ngelus dada karena senang, kegirangan bisa nyebrang sendirian dengan selamat...”

UUUPPPSSSS!!

Tentu tidak salah bertingkah seperti itu.
Tapi, membantu ada aturannya. Ada caranya.
Yang keliru adalah tidak membantu sama sekali dan tidak punya kemauan untuk membantu sesama.

Kita sepertinya perlu memastikan, apakah orang yang sedang berkeluh kesah itu memang membutuhkan bantuan, atau sekadar senang berkeluh kesah?
Kadang kita perlu bertanya dengan tegas:
“Kamu sedang curhat sedih dan butuh bantuan, atau hanya curhat saja tanpa perlu bantuan?”

Dan oh iya, bagi siapa pun yang hendak membantu, satu hal penting: luruskan niat.
Bantu siapa pun dan apa pun, pastikan hanya untuk mengharap maghfirah Allah SWT.

Mungkin ada saran dari pembaca tentang bagaimana cara membantu sesama agar tidak terjadi kesalahpahaman dan semuanya terasa lebih lega?

2012 — Menunggu dosen di pagi hari.


Comments