Empat Orang Baik Jogja

Catatan Jenuh – 15 Juni 2011

Aneh. Mengerjakan tugas satu paragraf, langsung kembali ke Facebook.
Baca buku sumber, rebahan, balik lagi ke Facebook.
Seperti ada daya tarik tersendiri.
Mungkin ini yang ingin disampaikan oleh Charles Sanders Peirce—ahli semiotik asal Amerika.
Semiotik menjalar melalui tiga tahapan: firstness, secondness, dan thirdness.
Saya merasa sedang berada di tahap kedua.
Sebuah ikon telah meracuni saya tanpa alasan yang jelas, dan saya seperti keluar dari diri saya sendiri.
Oke... di sini saya tidak akan membahas tahap thirdness, yang menyangkut makna dari sebuah ikon: mengapa saya bisa terpengaruh?
Tidak. Cukup di tahap kedua dulu.

Hey!
Sebenarnya sejak kemarin saya ingin bercerita.
Saya mendapati orang-orang baik.
Ada tiga orang baik, dan satu orang yang berusaha menjadi baik (saya yakin itu).

Orang Baik Pertama
Tetangga saya asal Kebumen, yang dulu sempat membangunkan saya tengah malam untuk menggerebek pasangan muda-mudi di kamar seberang.
Kami memang tidak begitu dekat. Akrab pun bisa dikatakan tidak.
Saya tidak pernah masuk ke kamar kosnya.
Berbeda dengan pengalaman ngekos saat di Ciputat, hampir semua tetangga saling kenal, akrab, dan bebas masuk ke kamar satu sama lain tanpa segan—demi memupuk keakraban.

Saat mati listrik, Adit (begitu ia disapa) menawarkan obat nyamuk.
“Mas Yoga, bakar ini deh. Obat nyamuk paling ampuh,” katanya sambil mengeluarkan obat nyamuk bakar keluaran HIT.
“Cuma tiga menit asapnya, setelah itu nggak berasap,” tambahnya.
“Wah, makasih, Dit,” ucap saya senang.
Sekali-kali, jangan lupa mengucapkan terima kasih saat diberi sesuatu, meskipun barang itu sudah kita miliki.
Saya punya pasokan HIT elektrik untuk satu bulan ke depan.

“Sini, sini, biar Adit nyalain, Mas. Di kamarnya Mas Yoga,” pintanya sambil menuju ke kamar saya.
Saya buka pintu kamar, lalu langsung menyembunyikan HIT elektrik saya.

“Sekarang banyak nyamuk, Mas...” katanya sambil membakar kertas berbau aneh itu di dalam kamar.
Lampu kamar masih mati, dan Adit pun pulang.
Saya duduk di luar, mencari udara segar, memandangi cahaya bulan.

Sekecil apa pun bantuan, berikanlah penghargaan semaksimal mungkin.
Semoga segala urusan Adit dimudahkan.

Orang Baik Kedua
Di hari dan waktu yang sama, saat saya duduk di depan kos karena listrik mati, keluarlah Hadi.
Anak Belitung yang kerap saya sebut di status-status Facebook.
Saya juga tidak akrab dengannya, padahal kosnya bersebelahan dengan saya.
Hanya lempar senyum yang menandakan tidak ada permusuhan di antara kami—sebagai tetangga.

Tapi malam itu,
“Tumben, Di. Mati listrik lama gini...” sapa saya memulai percakapan.
“Hehe, iya, Mas...” jawabnya singkat.

Ngobrol sebentar dengan tetangga saat menunggu listrik menyala adalah hal yang istimewa.
Kapan lagi silaturahmi dirajut?

Teman sekamarnya juga orang Belitung, satu jurusan.
Kami berbincang sekitar 20 menit.
Yang saya tangkap hanyalah soal “waktu dan biaya.”
Setiap urusan dilihat dari dua sisi itu.
Pulang-pergi ke kampung pun dihitung dari segi waktu dan biaya.
Maklum, anak Pendidikan Ekonomi dan kampungnya memang jauh.
Hari Senin (20/05) katanya ia akan sidang skripsi.

Anehnya, kenapa orang Belitung suka jurusan Ekonomi?
Seperti Andrea Hirata... (bisik saya dalam hati dengan logat Jawa)

Semoga waktunya di Jogja tidak merugikan biayanya.
Dan semoga waktu di dunia bisa menjadi bekal untuk kehidupan kelak—kehidupan yang tidak hanya bisa diukur dengan materi.
Semoga sidang skripsinya lancar.
Sukses selalu buat Hadi!
(Makasih untuk bincang-bincangnya)

Listrik mulai menyala.
Motor belum kembali, dipinjam Yudi yang ingin numpang mandi di tempat Aji.

Orang Baik Ketiga
Hari berganti.
Siang ini saya ingin mencicipi mie ayam langganan saya di lampu merah Jakal.
Tapi nampaknya motor saya kewalahan.
Ban depannya kempes.
Namun saya tetap paksakan.
Di depan gang komplek, ada tukang tambal.

“Berapa, Pak?” tanya saya.
“Lima ratus saja,” jawabnya ramah. Super ramah.

Saya menyodorkan uang lima ribu karena memang tidak membawa uang receh.
“Wah, nggak ada, Mas... nanti aja kapan-kapan ke sini lagi,” ucapnya tetap ramah.

Saya tidak langsung pergi.
Rasa sungkan membuat saya tetap berdiri.
Namun kebetulan ia juga menjual bensin.

“Isi bensin deh, Pak. Satu liter,” pinta saya sambil membuka jok motor.
Saya berikan uang sepuluh ribu, karena tahu harga bensin lima ribu per liter.

“Genapin aja, Pak. Jadi enam ribu, buat tambah anginnya,” kata saya.

“Nyeeehh, nggak usah. Sini uang yang lima ribu tadi. Yang tadi nggak usah dibayar,” ucapnya sambil tersenyum.
“Udah, nggak usah,” lanjutnya.

Semoga si Bapak dimudahkan rezekinya.
Sungguh baik.
Setidaknya ajian senyum ramahnya telah memperdaya para pelanggan.
Truly enchanted.

Dan Terakhir, Orang yang Berusaha Baik
Kini saya sudah duduk di salah satu meja mie ayam langganan.
Masih terlihat kosong.
Belum ada pembeli lain, hingga akhirnya masuklah sopir-sopir metromini memenuhi tempat ini.
Pembeli selanjutnya adalah gadis-gadis jelita dengan seragam “Safari Kencana”—mungkin dari perusahaan travel.

Dari arah belakang meja saya, seorang pria yang sedari tadi tak berhenti bercerita tentang peristiwa-peristiwa di jalan mulai beraksi mendekati para gadis.
Salah satu temannya yang duduk di kursi dekat tiga gadis itu, ia usir.

Kacamata hitamnya dipasang.
Rambut pirang lusuh disisir dengan jari.
Jaket jeans dikenakan.
Lengkap sudah membuat saya tertawa geli.
Sungguh kocak ia beraksi.
Terkesan polos, tapi... kampungan.

Ia mulai bertanya dari mana asal para gadis.
Tak satu pun jawaban keluar.
Sampai akhirnya salah satu gadis meminta kecap untuk dibungkus—ternyata mie ayamnya dibungkus.

Sedikit berteriak dengan nada kesal, si pemuda berucap:
“Khusus buat Emba, bawa aja, Mba, sama botolnya!”

Hahaha...
Semoga orang yang berusaha baik ini mendapatkan kemudahan dalam berkomunikasi dengan masyarakat.
Terlebih dengan perempuan.

Jogja, 15 Juni 2011
Polos


Comments

Post a Comment