Posts

Menangkis "Bola" Nyasar

Tempo hari, saat saya memasuki kawasan Golf Ngamplang di kota kelahiran saya, Garut—tentunya bukan untuk bermain golf—saya sempat dibuat cemas oleh beberapa plang peringatan yang dipasang di sejumlah titik. Hari itu, saya menemani seorang teman yang ingin mengobati rasa penasarannya berfoto-foto di sekitar lapangan golf. Maklum, kamera barunya masih ingin “unjuk gigi” di tempat yang belum pernah dijelajahi. Bagi kami, lapangan golf adalah sesuatu yang asing sekaligus istimewa. Hamparan rumput hijau yang luas, kontur tanah yang bergelombang, dan udara sejuk pegunungan menciptakan suasana yang tenang namun tetap menyimpan ketegangan. Namun, di balik ketakjuban itu, saya dihantui rasa waswas oleh plang bertuliskan: “Awas Bola Nyasar.” Sepanjang pengambilan foto, mata saya terus siaga, berjaga-jaga kalau-kalau ada bola putih yang tiba-tiba “mencium” kepala kami. Apalagi, kata teman saya, bukan rumah sakit yang akan dituju jika bola seukuran buah sawo itu jatuh dengan kecepatan penuh, m...

Sok Betul

Catatan Sabtu Kemarin Kemarin, semangat saya untuk pergi ke sidang Jumat sempat kandas. Setelah belasan menit menunggu, Jumatan belum juga dimulai. Ada apa ini? Para jamaah saling menatap heran satu sama lain, entah mengapa sidang Jumat belum juga dibuka. Suara azan sudah terdengar dari masjid di ujung sana, bahkan di penjuru lain sudah ada yang memulai khutbah. Akhirnya, yang ditunggu datang juga. Khatib naik ke atas mimbar dan segera membuka sidang Jumat dengan salam. Muazin yang sedari tadi tampak tak sabar pun langsung menyalakan mikrofon dengan semangat. Azan pun berkumandang. Semangat saya kembali tertarik dengan materi khutbah Jumat di Masjid Al-Muslimun yang masih saya ingat. Kebetulan, temanya sangat populer. Isi khutbah kemarin berkaitan dengan tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan pertolongan dari Allah SWT, pada hari di mana tidak ada satu makhluk pun yang mampu memberi pertolongan, kecuali pertolongan dari-Nya: Pemimpin yang adil Pemuda yang tumbuh da...

Dkk.

Image
Judul                   : Dkk. Pengarang     : Sae Jamuga (Yoga Sudarisman) Tahun             : 2011 Bagian 1 - Garut - Jakarta Bagian 2 - Diari Ibro Bagian 3 - An-Nisaa Bagian 4 - Nausea Vomitus Bagian 5 - Maba Bagian 6 - Dimulai Bagian 7 - Tidur Bagian 8 - Sanggar Ayu Bagian 9 - Dunia Kupu-Kupu Bagian 10 - Technosexual Bagian 11 - 18 Bagian 12 - Raka Bagian 13 - Win.Am3l.B Bagian 14 - Master of Love Bagian 15 - Sastrawan Gadungan Bagian 16 - Penakluk Auditorium Bagian 17 - Basis Ciputat Bagian 18 - Metamorfosis 

Tua itu Pasti, Dewasa itu Pilihan

Mungkin kalian pernah mendengar judul di atas: Menjadi tua itu pasti, sedang menjadi dewasa adalah pilihan. Benar adanya, saat manusia divonis oleh hitungan umur dan putaran waktu, maka tua adalah suatu kepastian. Lain halnya saat kita berbicara tentang kedewasaan. Ia tidak ditentukan oleh usia, bukan pula oleh zaman. Dewasa itu ada di sana—di kepalamu, Nak. Ada banyak cara orang tua agar anak-anaknya tumbuh dewasa. Kita mengenal istilah proses pendewasaan , yakni usaha atau cara untuk menjadikan seseorang lebih matang. Namun, apakah semua proses berujung pada hasil yang diharapkan? Kadang iya, kadang tidak. Itulah sebabnya saya katakan: dewasa itu ada di kepalamu. Kamu yang mengendalikan. Kamu yang memilih. Kamu yang menentukan—mau dewasa atau tidak. Hey, dengarkan saya! Proses penuaan adalah usaha untuk menjadi tua. Tapi saya kira, di dunia ini tak ada yang sengaja menjalani proses itu. Kecuali jika terpapar radiasi nuklir yang katanya bisa menyebabkan penuaan dini. Ja...

Proposal

Catatan Hari Pertama di Yogyakarta Sesuatu yang baru, boleh jadi menyenangkan hati—hingga lupa makan, minum, ibadah, atau aktivitas lainnya. Namun, apakah sesuatu yang baru akan selamanya terasa baru? Saya jadi teringat masa kecil, saat dihadiahi sepeda oleh orang tua tepat setelah gigi saya dicabut. Kesepakatannya sederhana: boleh gigi saya dicabut, asal dibelikan sepeda. Haha, masa kecil memang penuh negosiasi polos. Tapi sebenarnya bukan itu yang ingin saya suguhkan dalam catatan ini. Ini adalah catatan hari pertama saya di Kota Yogyakarta, setelah dua bulan pulang kampung. Tangis saya terhenti saat Bapak membawa saya ke toko sepeda. Dengan mulut yang tak henti meludah karena gigi titipan Tuhan baru saja dicabut oleh dokter klinik, saya tersenyum dalam hati dan langsung berlagak layaknya seorang raja. Saya ditawari ini-itu, diberikan pilihan untuk menyenangkan hati: “Ingin sepeda yang mana?” Singkat cerita, saya kembali ke rumah dengan senyum sok ramah. Ingin rasanya be...

Kita Bukan Ponari

Menelisik berbagai acara hiburan di televisi, termasuk beberapa kuis, entah mengapa saya merasa bangga dengan perkembangan kuis-kuis yang kini semakin bernuansa pengetahuan. Permainan yang ditawarkan tidak lagi sekadar hiburan kosong, tetapi mulai mengasah kecerdasan. Sebagai contoh, saya hampir tak pernah ketinggalan menonton acara kuis Siapa Paling Berani yang dipandu Helmi Yahya dan Fenita Arie. Baru-baru ini, saya juga tertarik dengan kuis Ranking 1 yang dipandu Ruben Onsu dan Sarah Sechan. Jauh berbeda dari kuis-kuis lama yang cenderung bernuansa perjudian angka demi rupiah. Menjawab “sepakat” dapat lima juta, “tidak sepakat” dapat sepuluh juta, atau bahkan dongkol karena gorden yang terbuka hanya berisi sandal jepit beda warna—alias zonk. Lain tirai, lain kuis. Kuis yang sekarang menuntut kecerdasan kognitif untuk mendapatkan selebaran rupiah. Tantangan yang terasa lebih edukatif. Contoh pertanyaan menuju satu juta rupiah: Bagai ...... sembilu. Saya, Ibu, dan Bapak ...

Kedisiplinan Kelik

Masih ingat dengan status Facebook subuh-subuh, saat saya kaget membuka SMS yang masuk malam sebelumnya dari seseorang yang di daftar kontak saya saya beri nama “Drs. Kelik”? Saya benar-benar terkejut. Isi SMS itu menyatakan bahwa ia ingin menemui saya di Pos Purwosari, Solo. Padahal saya sedang berada di Garut. Kuliah saya? Di Yogyakarta. Hellooowww. Oh iya, Kelik adalah nama bapak kos saya—sosok yang super duper perhatian. Terutama dalam urusan yang satu ini: pembayaran uang kosan. Masa kontrak kamar saya habis pertengahan September. Namun sejak bulan Mei, saya sudah mulai ditagih. Saya mendapati surat penagihan tergeletak di bawah pintu kamar. Peringatan pertama saya abaikan. Beberapa minggu kemudian, peringatannya semakin intens. Tidak lagi diketik, melainkan ditulis tangan, lengkap dengan banyak tanda seru—tanda baca yang paling tidak saya sukai, baik dalam SMS maupun surat. CAMKAN ITU!!! Akhirnya saya menelepon beliau. Saya menjelaskan bahwa masa kontrak kamar say...