Posts

Matematiku Jeblok

Berikut adalah versi yang telah dirapikan sesuai permintaan: kata "aku" diubah menjadi "saya", "ketika" menjadi "saat", ejaan dan kapitalisasi disesuaikan dengan kaidah Bahasa Indonesia yang umum, pengulangan disederhanakan, dan beberapa gambaran ditambahkan secara halus agar narasi lebih hidup namun tetap proporsional: Saya tersenyum tak henti-henti. Bahkan dalam self-talk, saya terus mengulang angka-angka yang tadi saya tuliskan. Seharusnya hal itu sangat mudah, tapi entah mengapa terasa begitu sulit. Saya harus mencoret dua kali karena ragu apakah yang saya tulis benar atau salah. Tapi semuanya berakhir dengan pembubuhan tanda tangan—tanda tanggung jawab, tanda keberanian. >.< Menindaklanjuti cerita sebelumnya tentang bapak kos, saya harus mentransfer sejumlah uang agar bisa kembali menempati kamar kos di Kota Sri Sultan. Siang tadi, saya dan Ibu pergi ke salah satu bank di Jawa Barat. Sebenarnya saya tidak berniat minta diantar, tapi...

Warna: sebuah Tanda dan Tugas

Pemuda bersweater merah itu menghadap dua kaca berukuran besar. Sebagaimana karakter kaca yang transparan, ia bisa melihat orang-orang di luar sana. Begitu pula sebaliknya, mereka yang berada di luar dapat melihatnya dengan jelas. Pandangannya menembus layar laptop ASUS di depannya, lurus menerawang ke luar. Gedung tempatnya berdiam kini bertetangga dengan bangunan-bangunan yang sedang direkonstruksi. Layaknya orang yang sedang banyak pikiran, pemuda itu mengatur arah tatapannya agar tampak kosong, meski diam-diam ia mengamati para kuli bangunan yang begitu sigap: cepat, lancar bolak-balik mengambil ini, menyimpan itu, menunda lelah, dan menuntaskan tugas. Tugas kampus yang masih bersarang di pikirannya ia tinggalkan sejenak, ditukar dengan catatan ringan yang menghibur. Catatan itu menggambarkan para pekerja yang semuanya memakai helm kuning—mereka yang tidak berseragam. Sesekali terlihat sosok berseragam mengenakan helm putih, yang ia duga sebagai mandor. Dan sesekali pula matanya m...

Si Kuda Besi

Image

Sssstttt Ini Rahasia

…Dia pun terdiam sejenak. Pikirannya terbelah antara puja dan puji. Sebelah kanan ia memuja Tuhannya, sementara bagian kiri memuji makhluk ciptaan-Nya. Cukup masuk akal mengapa ia terdiam. Saya sempat mendengar bisikan dari dalam dirinya tentang perasaan aneh yang begitu laten, sangat terselubung. Perasaan itulah yang menyekapnya dalam diam, katanya. Ia sempat mengingat hari itu—saat ia diperdaya oleh sebuah rasa. Satu per satu alasan ditarik agar perasaannya dapat diterima oleh akal, mampu dirasionalisasikan. Namun sayang, usahanya berujung gagal. Berakhir nol. Tak peduli dari mana perasaan itu timbul, kini ia melangkah dengan percaya diri yang begitu tebal. Ia maju, ia bertanya, ia mulai membuka pembicaraan. Saya yang sedari tadi mengintip dari ujung sana, sama sekali tidak diperkenankan mendengarkan perbincangan itu. Melihat sedikit saja, ia langsung menutupinya. Pura-pura menguping pun ia tahu. Begitu rahasia nampaknya percakapan itu. Awalnya, pembicaraan itu diawal...

Empat Orang Baik Jogja

Catatan Jenuh – 15 Juni 2011 Aneh. Mengerjakan tugas satu paragraf, langsung kembali ke Facebook. Baca buku sumber, rebahan, balik lagi ke Facebook. Seperti ada daya tarik tersendiri. Mungkin ini yang ingin disampaikan oleh Charles Sanders Peirce—ahli semiotik asal Amerika. Semiotik menjalar melalui tiga tahapan: firstness , secondness , dan thirdness . Saya merasa sedang berada di tahap kedua. Sebuah ikon telah meracuni saya tanpa alasan yang jelas, dan saya seperti keluar dari diri saya sendiri. Oke... di sini saya tidak akan membahas tahap thirdness , yang menyangkut makna dari sebuah ikon: mengapa saya bisa terpengaruh? Tidak. Cukup di tahap kedua dulu. Hey! Sebenarnya sejak kemarin saya ingin bercerita. Saya mendapati orang-orang baik. Ada tiga orang baik, dan satu orang yang berusaha menjadi baik (saya yakin itu). Orang Baik Pertama Tetangga saya asal Kebumen, yang dulu sempat membangunkan saya tengah malam untuk menggerebek pasangan muda-mudi di kamar seberang. K...

Fiksionalisasi Redaksi

Hari ini di kelas membahas Pulp Fiction. Sebuah film karya sutradara kenamaan Quentin Tarantino. Bukan adiknya Rano Karno. Film yang dirilis tahun 1994 ini, sesuai dengan judulnya Fiksi Picisan, tidak menjual narasi yang ‘berat’. Bolehlah Tarantino, sang sutradara yang sekali lagi bukan kakaknya Suti Karno, memasang aktor-aktor terkenal seperti John Travolta, Bruce Willis, Uma Thurman dan Samuel L. Jackson dalam filmnya, tetapi tetap saja untuk cerita picisan. Tidak menekankan pada estetika bercerita atau narasi yang memikat. Bahkan kalau diperhatikan beberapa dialognya memanglah tidak penting. Tapi jangan salah, film ini termasuk ke dalam film terbaik sepanjang masa. Masa? Bodo. Ah, mungkin inilah gaya post-modernis, yang hampir kesemuanya berbasis pada ‘ no reason ’. *** Sang istri terburu-buru mencari handphone nya untuk menghubungi seorang sahabat yang dikenal sebagai penulis berita kelas retak.com. ...

Surat dari Hawaii

Alohaaa... Apa kabar, temanku? Ingin rasanya saya berbagi cerita lewat surat ini. Liburan kali ini saya isi bersama teman-teman saya—yang juga temanmu. Kami pergi ke suatu tempat yang pasti kamu tidak akan tahu... ya, karena hanya kamu yang tidak hadir. Oh ya, saya turut prihatin membaca surat terakhirmu yang berisi: “Maaf, saya tidak bisa pergi... karena ibu tiri saya menyiksa saya...” Semoga dengan surat ini, dengan cerita saya, kepedihanmu sedikit terhapuskan. Langsung saja, ya. Ini ceritanya... Ke Hawaii... Awalnya, saya tidak pernah membayangkan bisa menginjakkan kaki ke Hawaii. Jangankan pergi ke sana, memimpikan saja tidak pernah. Hari itu, Rabu, 15 Juni 2011, matahari begitu sadis menitipkan panasnya lewat kulit. Indra perasa ini sangat peka merasakan apa pun yang menempel padanya—termasuk panas. Saya sempat teringat pertanyaanmu tentang gull (burung camar): “Mengapa mereka kuat terbang berjam-jam di bawah terik matahari?” Ternyata karena mereka terbang di atas...