Posts

Jane Addams: Kebutuhan Subyektif Permukiman Sosial 1892

Tulisan ini merupakan upaya untuk menunjukkan betapa pentingnya peran Permukiman Sosial dalam menyelesaikan permasalahan sosial. Bagi Addams, kurangnya koordinasi antara pikiran dan tindakan yang dialami generasi muda yang berawal dari didikan keluarga dapat mengganggu persaudaraan manusia; komunikasi antara orang tua dan anak. Di sini, Addams memberikan gambaran bagaimana gadis-gadis terpelajar melupakan keinginan masa kanak-kanak mereka untuk membantu dunia dan bermain dengan gadis-gadis kecil yang malang “yang belum pernah bermain”, orang tua seringkali tidak konsisten (Addams: 133); mereka dengan sengaja memberi tahu tentang kesusahan di dunia pada anak perempuan mereka tetapi saat anak perempuan tersebut mulai menyadari klaim sosialnya sebagai 'kesepuluh yang tenggelam' (submerged tenth*); untuk menunjukkan keinginan untuk memenuhinya, tuntutan keluarga ditegaskan dengan tegas; dia salah, dia dikekang dan dia tidak bahagia. Lebih jauh lagi, hal ini dapat membuat kurangnya ...

Melepas Payah

Ditemani alunan instrumen Kitaro, malam perlahan merangkak menuju sepi. Meninggalkan keramaian siang hari, mengantar pulang segala urusan yang telah dijalani. Di dinding ini, saya melihat dua ekor cicak sedang bermesraan—salah satu ekornya digigit penuh manja. Ah, dasar cicak... Tahu waktu, tak tahu tempat. Kitaro kian memuncak, menggapai bagian reff. Tak sepadan, memang. Malam yang sepi dihiasi genderang Kitaro. Oh, dasar aku... Tahu tempat, tak tahu waktu. Pernah mendengar lagunya yang berjudul Koi ? Belum? Dengarkanlah... Saya sudah mendengarnya sejak kecil. Biasa diputar di waktu pagi, lewat radio. Bukan di tempatmu, tapi di tempat saya. Saya dengarkan berhari-hari, saya putar bertahun-tahun. Tapi tetap saja, saya tak bisa menangkap apa yang ingin disampaikannya. Yang saya tahu hanya gelitik suara suling Cina. Pikiran saya membayangkan peristiwa sehabis perang... Kebudayaan hancur dimakan hasil kebudayaan itu sendiri. Peradaban musnah dilahap oleh hasil peradab...

Jadi Ingat

Hari ini, pagi-pagi saya menerima SMS dari adik saya. Katanya, ia akan sidang skripsi pagi ini. Pesan saya cukup singkat karena saya yakin ia sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Meski ia tampak khawatir, saya yakin pesan yang saya kirim tidak terlalu ia pikirkan: “Semoga sukses, dan jangan datang terlambat!” Yup, jangan terlambat. Membayangkan dua tahun silam, tepatnya 5 Maret 2009 Jadi ingat... Hari itu saya akan sidang skripsi. Hari terakhir mempertahankan tugas akhir demi mendapatkan selembar kertas berhologram yang meresmikan penambahan dua huruf di belakang nama saya: S.S. Sarjana Sakit, Sarjana Susah, Sarjana Senang, Sarjana Sukses—atau apalah plesetan anak-anak saat itu. Tapi sebenarnya singkatannya sangat mantap: Sarjana Sastra . Widiiihhh... tet! Kembali ke topik. Pagi itu, seperti biasa, saya adalah saya—dengan segala kekurangan, kesurupan, dan kekhilafan. Sidang dimulai pukul 11.00, dan pikiran aneh mulai merasuki kepala saya. Saya begitu santai kala itu. B...

Resolusi Tahun Baru Islam

Pagi tadi, di sebuah acara TV, saya menonton beberapa klub pecinta Husky (nama jenis anjing). Anjing ini terkenal sangat bersahabat dengan manusia. Anjing yang biasa hidup di daerah kutub ini memiliki kepala yang hampir mirip dengan kepala serigala, tetapi sama sekali tidak sebuas anjing hutan (atau serigala). Bahkan, orang-orang di kutub sana mempercayakan pekerjaan menarik kereta pada anjing yang cepat dilatih untuk duduk, berjalan, dan bersalaman ini. Memang, menurut informasi, urutan hewan yang paling akrab dengan manusia adalah anjing, dan kuda berada di urutan kedua. Anjing dengan bermacam jenis tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan sesuai dengan kodratnya. Seperti Husky, ia mungkin tidak sebuas anjing pelacak; atau Sheepdog (anjing penjaga kambing/penggembala), tentu lebih sigap dalam mengatur tugasnya. Wild dog tentu lebih ganas karena kodratnya hidup di rimba. Ada Dalmatian, ada Bulldog, ada Beagle, ada Lion Dog, ada Kanaan, dan masih banyak lagi. Jauh di lubuk hati say...

Tengkibing Day

Kamis, 24 November kemarin, entah saya mimpi apa... Selain bertepatan dengan Thanksgiving Day , hari itu juga saya sebut sebagai Tengkibing Day —Hari Nengteng Kaki Kambing. Ya, selama hampir setengah jam perjalanan, saya menggendong seekor kambing dari daerah Prambanan sampai Gejayan. Awalnya, rencana saya hanya menemani seorang teman membeli kambing di pasar kambing depan Candi Prambanan. Tapi nasib berkata lain. Setelah obrolan sana-sini, telepon sana-sini, si kambing harus ikut naik motor bersama kami. Saya kikuk, tidak tahu harus berbuat apa. Teman saya hanya tersenyum simpul—entah malu, entah GR—tapi yang jelas, kami grogi. Khususnya saya. Saya harus membantu si kambing duduk tenang di pangkuan, karena sempat terpikir: biarlah kami yang dibonceng oleh si kambing. Tapi ternyata, di pasar, puluhan orang membawa kambing, dan tak satu pun dari mereka dibonceng oleh kambing. Yang ada, kambingnya dibonceng manusia—lebih tepatnya, digendong. Si kambing dijatuhkan. Buk! Kedu...

Versus

Kini mata saya menatap keluar jendela kereta Malabar. Gelap. Sesekali lampu kecil mendekat, lalu menghilang. Di luar, bayangan pepohonan dan rumah-rumah yang tertidur melintas seperti potongan mimpi yang tak sempat saya ingat. Sekitar 20 menit lalu, Malabar meninggalkan Stasiun Tugu. Tak seperti biasanya—dari nama kereta, nama stasiun, hingga jadwal keberangkatan—semuanya berbeda dari yang biasa saya alami. Biasanya saya menaiki kereta ekonomi Kahuripan dari Stasiun Lempuyangan, dengan jadwal yang masih wajar: pukul 20.20 malam. Malabar justru berangkat pukul 23.57, tiga menit sebelum tengah malam. Nggak sehat! Gerbong terasa lengang, hanya suara roda besi yang beradu dengan rel, sesekali terdengar dengkuran pelan dari penumpang yang tertidur. Karena Malabar tidak berhenti di Stasiun Garut, baik Cibatu maupun Leles, saya harus bersiap turun di antara Tasikmalaya atau Bandung. Kereta dijadwalkan tiba di Bandung pukul 08.30 pagi, tapi nampaknya akan terlambat. Terbukti, laju kereta ...

Salam dari Hujan [2]

segala sesuatu di dunia ini tidak terjadi sia-sia, semua berjalan pada garisnya sendiri, aman, tenang, cocok bagi mereka ataupun kita tak dapat dipungkiri, dengan catatan... tetap cermat memperhatikan pelajaran-Nya. Waktu itu, saya tak bisa berbuat apa-apa lagi. Saat di mana saya tidak mendapatkan kesempatan untuk bergabung dengan teman-teman di Jogja. Sementara itu, Ibu sedang "sibuk" menasihati saya—hahaha, maklumlah. Ini bukan pertama kalinya. Beliau sudah sangat hafal dengan kebiasaan saya: selalu lalai dalam banyak hal. S.E.L.A.L.U. Gagal mendapatkan tiket kereta karena terlambat mungkin sudah yang kelima kalinya. Selalu ada saja yang tertinggal, entah saat berangkat dari Jogja ke Garut, atau sebaliknya. Padahal, Ibu selalu berusaha membantu menyiapkan barang-barang saya dengan teliti. Tapi tetap saja, ada yang luput. Bagi saya, itu hal sepele. Tapi bagi beliau... hal sepele bisa mengubah dunia, mungkin. Oke, lupakan soal saya yang kembali diceramahi oleh sang Pem...