Posts

Tertimpa Durian: Sakit.

Wah, sudah lama saya tidak menulis lagi. Sebenarnya tidak terlalu sibuk. Terbukti, saya tidak pernah absen menuliskan status di Facebook. Hanya saja, saya menunggu waktu seperti ini—saat hujan turun deras di luar, dan di dalam kosan ada yang sakit: saya sendiri. Benar adanya saat orang mengatakan, jangankan untuk berpikir, untuk makan saja orang sakit begitu malas. Lantas, apa yang saya kerjakan sekarang ini kalau bukan berpikir? Bagi saya, menulis membuat suasana menjadi lebih rileks. Pikiran tidak tegang, dan segala bentuk unek-unek tersalurkan. Lega. Hujan di luar masih deras. Saya mencoba mengimbangi suara hujan dengan lantunan murotal Al-Ghomidi dari pemutar MP3. Begitu nikmat suaranya. Tangan saya tak henti-hentinya menyeka cairan yang terus mengalir dari lubang hidung. Ah, bagaimana mungkin manusia seperti saya ingin berlaku sombong terhadap sesama—berlagak paling bisa, paling tahu, paling hebat? Ingus saya sendiri saja tak bisa saya kendalikan. Saya kewalahan. B...

Kamis Gokil, Gagak Keparat (KGGK)

Percaya atau tidak, tiga hari setelah kejadian itu, layaknya jelangkung, nyengir itu datang tak diundang, pulang tak diantar. Setiap kali mengingat acara itu, saya nyengir sendiri. Ingat lagi, nyengir lagi. Sungguh, acara yang sangat super duper gokil. Kamis, 26 Januari 2012, menjadi bukti tak terbantahkan bahwa setiap ada usaha, di situ ada jalan—sekalipun usahanya minim. Segelintir orang pun ikut terlibat, dan di akhir acara mereka kompak mengucapkan: “Ini acara paling gokil yang pernah ada.” Siang itu, saya disibukkan dengan acara pementasan seni Gerak dan Tawa —istilah ini muncul tepat saat penulisan catatan ini. Meskipun yang akan diperagakan adalah puisi yang sangat tragis, karena tanpa persiapan, ujung-ujungnya tergolong ke genre komedi. Acara dimulai pukul 19.00, sekarang pukul 12 siang. Walaupun saya bukan ketua acara, saya dibingungkan oleh beberapa hal luar biasa: MC belum pasti. Aktor untuk puncak acara belum jelas. Sound belum dikonfirmasi ulang. Tempat baru b...

Aku, Kodim, dan Gada Kerjaan

Baru kali ini saya memiliki seseorang yang bisa diajak ngobrol tentang sesuatu yang sebenarnya sudah lama saya tahu: hobi memelihara burung. Namun, saya belum pernah mengulik lebih dalam tentangnya. Saya tidak pernah benar-benar memahami mengapa orang-orang begitu menggilai hobi ini. Apakah karena mereka senang mendengarkan merdunya suara burung? Atau terpikat oleh keindahan warna bulunya? Atau sekadar hobi mengoleksi sangkar dengan berbagai bentuk, ukuran, dan warna? Tapi bisa dibayangkan, saat pagi cerah, sebut saja namanya Kodim, harus naik ke pohon depan kosan untuk menggantungkan sangkarnya agar burung-burungnya bisa menikmati hangatnya sinar mentari. Namun, setengah jam sebelum naik pohon, ada ritual khusus: memandikan burung dan memberinya makan. Pakannya pun beragam, karena selera burung berbeda-beda. Saya melihat wadah-wadah dengan isi yang berbeda: Ada ulat yang ia beli seharga Rp1.000 untuk setengah ons (tentu bukan ulat bulu), Ada wadah berisi 12 ekor jangkrik se...

Jane Addams: Kebutuhan Subyektif Permukiman Sosial 1892

Tulisan ini merupakan upaya untuk menunjukkan betapa pentingnya peran Permukiman Sosial dalam menyelesaikan permasalahan sosial. Bagi Addams, kurangnya koordinasi antara pikiran dan tindakan yang dialami generasi muda yang berawal dari didikan keluarga dapat mengganggu persaudaraan manusia; komunikasi antara orang tua dan anak. Di sini, Addams memberikan gambaran bagaimana gadis-gadis terpelajar melupakan keinginan masa kanak-kanak mereka untuk membantu dunia dan bermain dengan gadis-gadis kecil yang malang “yang belum pernah bermain”, orang tua seringkali tidak konsisten (Addams: 133); mereka dengan sengaja memberi tahu tentang kesusahan di dunia pada anak perempuan mereka tetapi saat anak perempuan tersebut mulai menyadari klaim sosialnya sebagai 'kesepuluh yang tenggelam' (submerged tenth*); untuk menunjukkan keinginan untuk memenuhinya, tuntutan keluarga ditegaskan dengan tegas; dia salah, dia dikekang dan dia tidak bahagia. Lebih jauh lagi, hal ini dapat membuat kurangnya ...

Melepas Payah

Ditemani alunan instrumen Kitaro, malam perlahan merangkak menuju sepi. Meninggalkan keramaian siang hari, mengantar pulang segala urusan yang telah dijalani. Di dinding ini, saya melihat dua ekor cicak sedang bermesraan—salah satu ekornya digigit penuh manja. Ah, dasar cicak... Tahu waktu, tak tahu tempat. Kitaro kian memuncak, menggapai bagian reff. Tak sepadan, memang. Malam yang sepi dihiasi genderang Kitaro. Oh, dasar aku... Tahu tempat, tak tahu waktu. Pernah mendengar lagunya yang berjudul Koi ? Belum? Dengarkanlah... Saya sudah mendengarnya sejak kecil. Biasa diputar di waktu pagi, lewat radio. Bukan di tempatmu, tapi di tempat saya. Saya dengarkan berhari-hari, saya putar bertahun-tahun. Tapi tetap saja, saya tak bisa menangkap apa yang ingin disampaikannya. Yang saya tahu hanya gelitik suara suling Cina. Pikiran saya membayangkan peristiwa sehabis perang... Kebudayaan hancur dimakan hasil kebudayaan itu sendiri. Peradaban musnah dilahap oleh hasil peradab...

Jadi Ingat

Hari ini, pagi-pagi saya menerima SMS dari adik saya. Katanya, ia akan sidang skripsi pagi ini. Pesan saya cukup singkat karena saya yakin ia sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Meski ia tampak khawatir, saya yakin pesan yang saya kirim tidak terlalu ia pikirkan: “Semoga sukses, dan jangan datang terlambat!” Yup, jangan terlambat. Membayangkan dua tahun silam, tepatnya 5 Maret 2009 Jadi ingat... Hari itu saya akan sidang skripsi. Hari terakhir mempertahankan tugas akhir demi mendapatkan selembar kertas berhologram yang meresmikan penambahan dua huruf di belakang nama saya: S.S. Sarjana Sakit, Sarjana Susah, Sarjana Senang, Sarjana Sukses—atau apalah plesetan anak-anak saat itu. Tapi sebenarnya singkatannya sangat mantap: Sarjana Sastra . Widiiihhh... tet! Kembali ke topik. Pagi itu, seperti biasa, saya adalah saya—dengan segala kekurangan, kesurupan, dan kekhilafan. Sidang dimulai pukul 11.00, dan pikiran aneh mulai merasuki kepala saya. Saya begitu santai kala itu. B...

Resolusi Tahun Baru Islam

Pagi tadi, di sebuah acara TV, saya menonton beberapa klub pecinta Husky (nama jenis anjing). Anjing ini terkenal sangat bersahabat dengan manusia. Anjing yang biasa hidup di daerah kutub ini memiliki kepala yang hampir mirip dengan kepala serigala, tetapi sama sekali tidak sebuas anjing hutan (atau serigala). Bahkan, orang-orang di kutub sana mempercayakan pekerjaan menarik kereta pada anjing yang cepat dilatih untuk duduk, berjalan, dan bersalaman ini. Memang, menurut informasi, urutan hewan yang paling akrab dengan manusia adalah anjing, dan kuda berada di urutan kedua. Anjing dengan bermacam jenis tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan sesuai dengan kodratnya. Seperti Husky, ia mungkin tidak sebuas anjing pelacak; atau Sheepdog (anjing penjaga kambing/penggembala), tentu lebih sigap dalam mengatur tugasnya. Wild dog tentu lebih ganas karena kodratnya hidup di rimba. Ada Dalmatian, ada Bulldog, ada Beagle, ada Lion Dog, ada Kanaan, dan masih banyak lagi. Jauh di lubuk hati say...