Posts

Mata-Mata Gadungan

Jogja sudah empat hari terakhir cerah. Langit malam pun terlihat begitu indah. Bukan hanya taburan bintang yang tak terhitung, rembulan tergantung gagah meski ia terbelah. Indah benar Jogja yang saya gambarkan. Memang seperti itu. Pagi-pagi betul, saya pastikan pagi ini pun matahari akan berani menyelinap ke tempat-tempat yang ia inginkan. Terserah dia. Ia ingin menyinari jendela si Fulan, atau mengintip dari genteng yang bolong, atau mungkin menularkan sedikit hangatnya kepada triliunan pakaian basah—biarkan saja. Duhai mata dari tiap-tiap hari, Engkau pasti sudah melihat aneka aktivitas selama berhari-hari. Mungkin beribu, berjuta, bermiliar, atau bahkan bertriliun hari. Saya yakin itu. Engkau sudah menyaksikannya. Matamu tidak karatan, apalagi buta. Saya ingin bertanya: Pernahkah engkau melihat satu hari di mana seseorang tersinari cahayamu, tetapi ia tetap gelap? Pernahkah ada seseorang yang panas hatinya melebihi panas matamu? Ataukah mungkin ada orang yang mera...

Wanita di Senja Hari

Di catatan saya yang ke-100 ini, saya ingin keluar sejenak dari riuhnya pemberitaan media. Baik itu tentang Pak Dahlan yang ‘heroik’ di gerbang tol Semanggi, kunjungan Ban Ki Moon ke Indonesia, para teroris yang kembali menghiasi layar berita, atau para calon Gubernur DKI yang mulai unjuk gigi dan tebar janji. Ah, membosankan. Bagi saya, itu sangat amat super membosankan. Saya ingin bercerita tentang seorang wanita yang selalu saya banggakan. Yang selalu saya syukuri kehadirannya, atas segala kebaikan dan pelajaran hidup yang ia berikan. Wanita yang sudah terlatih mewarnai hari-harinya dengan keteguhan dan kelembutan. Suatu sore dalam perjalanan menuju Jakarta, saya merasa senang karena kali ini saya ditemani oleh seorang wanita berjilbab, mengenakan baju bermotif bunga-bunga. Bukan dia yang mendekati saya, tapi saya yang memilih mendekatinya. Saat pertama kali naik bus, saya melihat bahwa bus tidak terlalu penuh. Banyak kursi kosong, namun saya memilih duduk di dekat wanita...

Sembilan Sembilan

Satu lagi catatan saya menginjak angka 100. Tanpa disadari, suka duka, keluh kesah, resah, dan gelisah telah tertuang dalam catatan-catatan yang kadang tidak jelas dan tidak bertujuan. Semuanya saya tulis karena memang ingin menulis. Ini adalah catatan ke-99. Mungkin tidak semua catatan saya bernarasi—menceritakan urutan kejadian, waktu, atau tokoh. Dari 99 catatan, saya bisa pastikan kurang dari 10 di antaranya berisi lirik lagu atau kisah penuh hikmah hasil kopi-paste. Angka 99 menurut saya unik. Entah mengapa, bentuknya saja sudah menarik. Mungkin karena angka ini adalah ujung dari rentetan dua digit, atau mungkin karena angka ini populer sebagai jumlah nama-nama baik bagi Sang Maha Baik, yang otomatis membuatnya terasa istimewa di kepala saya. Entahlah... saya memang menyukai angka itu. Bahkan sebelum kejadian yang membuat saya semakin kesengsem dengan angka ini. Saya punya cerita istimewa di hari ke-9, bulan ke-9, tahun lalu. Cerita yang menjadi asal muasal lahirnya ca...

Katumbiri Hati

Pernah mendengar kisah tentang Nabi Nuh? Ya, nabi pertama yang membangun bahtera super besar yang mampu memuat hampir seluruh makhluk hidup di sekitarnya. Namun, ternyata bukan hanya itu kisah terkenal dari beliau. Dari segi usia, Nabi Nuh memiliki kesempatan hidup jauh lebih panjang dibandingkan nabi atau rasul lainnya, yakni mencapai 950 tahun. Anehnya, dengan usia hampir seribu tahun itu, Nabi Nuh justru memiliki jumlah pengikut yang paling sedikit. Wallahu a'lam bish-shawab. Dikisahkan, Nabi Nuh pernah bertemu dengan seorang ibu yang terisak-isak karena ditinggalkan putranya untuk selamanya. Sang anak telah dipanggil oleh Pemilik tiap-tiap jiwa. Nabi Nuh mencoba menenangkan sang ibu atas apa yang telah digariskan oleh Allah SWT. Sang ibu berkata, “Wahai Nabi Allah, saya sangat terpukul. Di usianya yang masih cukup muda, 250 tahun, ia sudah meninggalkan saya.” Nabi Nuh menjawab, “Ibu, sungguh, kelak akan datang suatu masa di mana manusia sangat kecil kemungkinannya untuk ber...

Lebih Baik Telat Daripada Tidak Sama Sekali

Memang, saya selalu terdiam saat teman-teman Muallimien (setingkat SMA) berbicara tentang masa lalu mereka yang asyik berpartisipasi dalam event haflah imtihan —kegiatan setelah berakhirnya ujian akhir. Saya terdiam karena memang tidak ikut andil dalam acara itu. Saya tidak punya cerita apa pun. Saya terlalu asyik dengan kesendirian saat itu. Bagaikan seekor ulat, saya terlalu yakin bahwa suatu hari nanti akan berubah dan dikagumi banyak orang karena keelokan saya. Itulah pikiran saya saat masih ABG, dan saya rasa itu wajar—seseorang sedang membutuhkan pengakuan. Ulat memang aneh, mungkin karena ia ingin diperhatikan. 😄 Sedikit bercerita tentang asyiknya saya dengan kesendirian... Semuanya berubah sejak komputer masuk ke rumah pada tahun 2001. Kehidupan saya seolah hanya berputar di sekitar program-program dalam komputer Pentium II. Saya menganggap semua orang yang tidak bisa diajak berdiskusi tentang komputer sebagai orang yang payah. Saya pun mulai mengacuhkan mereka—mend...

Tertimpa Durian: Sakit.

Wah, sudah lama saya tidak menulis lagi. Sebenarnya tidak terlalu sibuk. Terbukti, saya tidak pernah absen menuliskan status di Facebook. Hanya saja, saya menunggu waktu seperti ini—saat hujan turun deras di luar, dan di dalam kosan ada yang sakit: saya sendiri. Benar adanya saat orang mengatakan, jangankan untuk berpikir, untuk makan saja orang sakit begitu malas. Lantas, apa yang saya kerjakan sekarang ini kalau bukan berpikir? Bagi saya, menulis membuat suasana menjadi lebih rileks. Pikiran tidak tegang, dan segala bentuk unek-unek tersalurkan. Lega. Hujan di luar masih deras. Saya mencoba mengimbangi suara hujan dengan lantunan murotal Al-Ghomidi dari pemutar MP3. Begitu nikmat suaranya. Tangan saya tak henti-hentinya menyeka cairan yang terus mengalir dari lubang hidung. Ah, bagaimana mungkin manusia seperti saya ingin berlaku sombong terhadap sesama—berlagak paling bisa, paling tahu, paling hebat? Ingus saya sendiri saja tak bisa saya kendalikan. Saya kewalahan. B...

Kamis Gokil, Gagak Keparat (KGGK)

Percaya atau tidak, tiga hari setelah kejadian itu, layaknya jelangkung, nyengir itu datang tak diundang, pulang tak diantar. Setiap kali mengingat acara itu, saya nyengir sendiri. Ingat lagi, nyengir lagi. Sungguh, acara yang sangat super duper gokil. Kamis, 26 Januari 2012, menjadi bukti tak terbantahkan bahwa setiap ada usaha, di situ ada jalan—sekalipun usahanya minim. Segelintir orang pun ikut terlibat, dan di akhir acara mereka kompak mengucapkan: “Ini acara paling gokil yang pernah ada.” Siang itu, saya disibukkan dengan acara pementasan seni Gerak dan Tawa —istilah ini muncul tepat saat penulisan catatan ini. Meskipun yang akan diperagakan adalah puisi yang sangat tragis, karena tanpa persiapan, ujung-ujungnya tergolong ke genre komedi. Acara dimulai pukul 19.00, sekarang pukul 12 siang. Walaupun saya bukan ketua acara, saya dibingungkan oleh beberapa hal luar biasa: MC belum pasti. Aktor untuk puncak acara belum jelas. Sound belum dikonfirmasi ulang. Tempat baru b...