Posts

Showing posts from June, 2011

Warna: sebuah Tanda dan Tugas

Pemuda bersweater merah itu menghadap dua kaca berukuran besar. Sebagaimana karakter kaca yang transparan, ia bisa melihat orang-orang di luar sana. Begitu pula sebaliknya, mereka yang berada di luar dapat melihatnya dengan jelas. Pandangannya menembus layar laptop ASUS di depannya, lurus menerawang ke luar. Gedung tempatnya berdiam kini bertetangga dengan bangunan-bangunan yang sedang direkonstruksi. Layaknya orang yang sedang banyak pikiran, pemuda itu mengatur arah tatapannya agar tampak kosong, meski diam-diam ia mengamati para kuli bangunan yang begitu sigap: cepat, lancar bolak-balik mengambil ini, menyimpan itu, menunda lelah, dan menuntaskan tugas. Tugas kampus yang masih bersarang di pikirannya ia tinggalkan sejenak, ditukar dengan catatan ringan yang menghibur. Catatan itu menggambarkan para pekerja yang semuanya memakai helm kuning—mereka yang tidak berseragam. Sesekali terlihat sosok berseragam mengenakan helm putih, yang ia duga sebagai mandor. Dan sesekali pula matanya m...

Si Kuda Besi

Image

Sssstttt Ini Rahasia

…Dia pun terdiam sejenak. Pikirannya terbelah antara puja dan puji. Sebelah kanan ia memuja Tuhannya, sementara bagian kiri memuji makhluk ciptaan-Nya. Cukup masuk akal mengapa ia terdiam. Saya sempat mendengar bisikan dari dalam dirinya tentang perasaan aneh yang begitu laten, sangat terselubung. Perasaan itulah yang menyekapnya dalam diam, katanya. Ia sempat mengingat hari itu—saat ia diperdaya oleh sebuah rasa. Satu per satu alasan ditarik agar perasaannya dapat diterima oleh akal, mampu dirasionalisasikan. Namun sayang, usahanya berujung gagal. Berakhir nol. Tak peduli dari mana perasaan itu timbul, kini ia melangkah dengan percaya diri yang begitu tebal. Ia maju, ia bertanya, ia mulai membuka pembicaraan. Saya yang sedari tadi mengintip dari ujung sana, sama sekali tidak diperkenankan mendengarkan perbincangan itu. Melihat sedikit saja, ia langsung menutupinya. Pura-pura menguping pun ia tahu. Begitu rahasia nampaknya percakapan itu. Awalnya, pembicaraan itu diawal...

Empat Orang Baik Jogja

Catatan Jenuh – 15 Juni 2011 Aneh. Mengerjakan tugas satu paragraf, langsung kembali ke Facebook. Baca buku sumber, rebahan, balik lagi ke Facebook. Seperti ada daya tarik tersendiri. Mungkin ini yang ingin disampaikan oleh Charles Sanders Peirce—ahli semiotik asal Amerika. Semiotik menjalar melalui tiga tahapan: firstness , secondness , dan thirdness . Saya merasa sedang berada di tahap kedua. Sebuah ikon telah meracuni saya tanpa alasan yang jelas, dan saya seperti keluar dari diri saya sendiri. Oke... di sini saya tidak akan membahas tahap thirdness , yang menyangkut makna dari sebuah ikon: mengapa saya bisa terpengaruh? Tidak. Cukup di tahap kedua dulu. Hey! Sebenarnya sejak kemarin saya ingin bercerita. Saya mendapati orang-orang baik. Ada tiga orang baik, dan satu orang yang berusaha menjadi baik (saya yakin itu). Orang Baik Pertama Tetangga saya asal Kebumen, yang dulu sempat membangunkan saya tengah malam untuk menggerebek pasangan muda-mudi di kamar seberang. K...

Fiksionalisasi Redaksi

Hari ini di kelas membahas Pulp Fiction. Sebuah film karya sutradara kenamaan Quentin Tarantino. Bukan adiknya Rano Karno. Film yang dirilis tahun 1994 ini, sesuai dengan judulnya Fiksi Picisan, tidak menjual narasi yang ‘berat’. Bolehlah Tarantino, sang sutradara yang sekali lagi bukan kakaknya Suti Karno, memasang aktor-aktor terkenal seperti John Travolta, Bruce Willis, Uma Thurman dan Samuel L. Jackson dalam filmnya, tetapi tetap saja untuk cerita picisan. Tidak menekankan pada estetika bercerita atau narasi yang memikat. Bahkan kalau diperhatikan beberapa dialognya memanglah tidak penting. Tapi jangan salah, film ini termasuk ke dalam film terbaik sepanjang masa. Masa? Bodo. Ah, mungkin inilah gaya post-modernis, yang hampir kesemuanya berbasis pada ‘ no reason ’. *** Sang istri terburu-buru mencari handphone nya untuk menghubungi seorang sahabat yang dikenal sebagai penulis berita kelas retak.com. ...

Surat dari Hawaii

Alohaaa... Apa kabar, temanku? Ingin rasanya saya berbagi cerita lewat surat ini. Liburan kali ini saya isi bersama teman-teman saya—yang juga temanmu. Kami pergi ke suatu tempat yang pasti kamu tidak akan tahu... ya, karena hanya kamu yang tidak hadir. Oh ya, saya turut prihatin membaca surat terakhirmu yang berisi: “Maaf, saya tidak bisa pergi... karena ibu tiri saya menyiksa saya...” Semoga dengan surat ini, dengan cerita saya, kepedihanmu sedikit terhapuskan. Langsung saja, ya. Ini ceritanya... Ke Hawaii... Awalnya, saya tidak pernah membayangkan bisa menginjakkan kaki ke Hawaii. Jangankan pergi ke sana, memimpikan saja tidak pernah. Hari itu, Rabu, 15 Juni 2011, matahari begitu sadis menitipkan panasnya lewat kulit. Indra perasa ini sangat peka merasakan apa pun yang menempel padanya—termasuk panas. Saya sempat teringat pertanyaanmu tentang gull (burung camar): “Mengapa mereka kuat terbang berjam-jam di bawah terik matahari?” Ternyata karena mereka terbang di atas...

Icon 't', terima kasih

“Lapaaarr...” “Tolong hapuskan dia dari ingatanku, ya Allah...” “Semoga perjalananku selamat sampai tujuan... amin ^^” “MALES KERJA, MALES KERJA... ARRGGHHHH!” Hahay... saya tersenyum dalam hati. Ceria. Di sela-sela pagi yang pusing, sedari tadi saya mengkaji tentang ikon. The Power of Icon . Saya tersenyum melihat berbagai status di Facebook (ikon huruf “f” tidak kapital). Ada yang menarik dari empat status di atas. Saya ingin berbagi cerita mengenai status kedua, karena tiga lainnya sudah biasa saya jumpai, baca, bahkan kadang saya beri jempol di bawahnya. Status kedua ini terasa baru. Jarang saya temui. Ada seseorang yang baru putus dengan pacarnya. Karena saya tidak pernah beranjak dari laptop, saya tahu kronologis perpisahan orang yang menulis status itu. Orang yang sangat tidak saya kenal, mungkin hanya dua kali bertemu dengannya. Kejadiannya sekitar dua hari lalu. Ia mulai menulis status-status yang berisi pertengkaran. Kadang mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusny...

Post-Durianisme

A. Latar Belakang Masalah Sore itu saya terbaring, lemas, panas, kekurangan air. Malas rasanya untuk bangun, padahal waktu salat Ashar belum tiba. Akhir-akhir ini cuaca di Jogja memang panas dan jarang hujan. Saya selalu tertidur saat sedang mengerjakan tugas. Terlintas di pikiran, kalau saya meninggal saat membaca buku, mungkin masuk kategori jihad fī sabīlillāh—husnul khotimah, masuk surga. Tapi jangan dulu, lah... saya belum menikah dan belum punya cucu. Tiba-tiba ponsel saya berdering. SMS masuk: “A, hoyong duren?? Si Bapak inget ka Aa, jadi meser duren...” Pesan dari adik saya, Cipto. Katanya, Bapak ingat saya yang paling suka durian di rumah, jadi beli durian dan makan bareng-bareng. Huffft... dalam hati saya, capek deh. Ingat saya kok malah makan bareng di sana. Hehe. Langsung bangun. Cuci muka, cek Facebook (kewajiban), tulis status: “Pengeeennn dureeennn... sangat pingin sekali makan durian.” Terakhir kali makan durian mungkin sebelum saya ke Yogya... sudah l...

Ini Bukan Judulnya

Satu hal yang paling saya sukai adalah kejujuran. Dan satu hal yang paling saya benci adalah kesombongan. Entah mengapa, sejak dulu saya selalu merasa simpati kepada mereka yang jujur. Mungkin karena saya sendiri kerap tidak jujur terhadap diri saya. Memang tidak mudah menilai apakah seseorang jujur atau tidak. Namun, ada satu prinsip yang bisa dijadikan pegangan: Saat seseorang mengucapkan A dan tindakannya selaras dengan A, besar kemungkinan ia jujur. Tapi jika ia mengucapkan A, namun perilakunya sama sekali tidak mencerminkan ucapannya, kemungkinan besar ia tidak jujur. Jangankan kepada orang lain, kepada dirinya sendiri pun... ya, begitulah. Kadang saya pun seperti itu. Hahay. Berikutnya, tentang orang yang takabur. Saya sangat tidak suka—sangat amat tidak suka—dengan mereka yang sombong. Entahlah... mungkin karena saya pun pernah takabur. Saya sadar itu. Ada dua ciri yang menunjukkan seseorang telah sampai pada tingkat kesombongan. Pertama, mereka mendustakan kebena...

Aku Bantu Aku

Sebenarnya, yang salah itu siapa? Memang tidak begitu fatal. Tapi ya, sedikit demi sedikit lama-lama bisa jadi bukit. Kalau terus berbuat salah, lama-lama jadi besar dan akhirnya fatal. Saya masih ingat pesan Ibu: “Sekali-kali kamu jangan pernah menyakiti perasaan perempuan.” Sebenarnya, saya sering mendengar pesan ini dari berbagai sumber—teman, televisi, adik, dan lainnya. Tapi yang benar-benar masuk ke hati, ya pesan dari Ibu. Saya ingat betul, pesan itu disampaikan saat saya lulus dari pesantren dan hendak berangkat ke kampus di Jakarta. Sayangnya, ternyata... saya pernah menyakiti satu perasaan perempuan yang sangat... Oke, itu masa lalu. Sudah tertinggal. Jumat, 9 Juni 2011, saya bertanya pada seseorang (perempuan) di Yahoo Messenger: Saya     : Emang cewek kalau diramahin cowok suka mikir yang aneh-aneh gitu? Seseorang  : Ya, tergantung keramahannya dan frekuensinya... Saya termenung sejenak. Saya mulai berpikir: apakah saya ini ramah biasa atau ramah berlebihan? ...

Ditinggalkan Waktu

Saya bukan seorang apoteker. Wajar, karena itu bukan keinginan saya. Jadi, tak apalah jika saya tidak bisa meramu obat-obatan. Saya bukan seorang profesor—suatu hari nanti, insyaAllah. Saya juga tidak pandai merangkai kata. Namun, dalam urusan ini, saya tidak akan berpihak pada diri sendiri. Mentang-mentang bukan pujangga, bukan berarti saya akan diam saat tak mampu menyusun kalimat. Hohoho... nay, nay, nay! Di sini, tepat di tempat saya duduk, saya dikelilingi buku-buku warna-warni. Ada sampul oren, kuning muda, hijau muda, ungu, biru, merah—semuanya khas fotokopian. Sebagian belum sempat saya kaji. Sebagian sudah saya tandai dengan stabilo: mana yang akan dimasukkan ke dalam makalah, mana yang tidak. Sebagian lagi rusak karena tertindih saat saya tertidur. Saya ingin berbagi tentang beberapa gejala aneh yang menimpa saya akhir-akhir ini: Mual rasanya saat ide belum muncul, padahal beberapa lembar buku sudah dibaca. Sesak rasanya saat ide sudah didapat, tapi belum mampu ...

Sebagian Ragu, Sebagian Urung

Sebuah Cerita dari Malam Tadi Kini saya berdiri di seberang jalan, tepat di depan lokasi yang hendak saya tuju. Tanpa headset di telinga. Dari sini, dari tempat saya berdiri, terlihat jelas antrean yang sangat panjang. Luar biasa panjang—tidak seperti biasanya. Tempat itu begitu ramai. Mulai dari sopir taksi yang lalu-lalang menawarkan tumpangan, sesekali mereka mengejar penumpang yang awalnya menolak tawaran harga. Tepat di tempat saya memarkir motor, puluhan becak berbaris rapi menghadap jalan raya, mempermudah penumpang yang ingin naik. Abang becaknya duduk santai, sebegitu santainya sampai mereka tak berdaya mengejar penumpang yang dirayu sopir taksi atau tukang ojek. “Rezeki sudah ada yang ngatur... semua ada waktunya...” Mungkin itulah yang ada di pikiran para tukang becak Stasiun Lempuyangan, Jogja. Kalimat yang juga pernah diucapkan si Edo saat warung kopinya sepi. Biasanya, suara bising tempat umum saya redam dengan MP3 player volume 25 dari 30 bar. Kencang. Nyama...

Ngomongin Orang Nyalahin Hujan

Catatan Sore di Kantin Fisipol – 30 Mei 2011 Kali ini, sore ini, saya membawa laptop dan modem ke kantin. Di sebelah kiri saya ada Yudi. Tepat di depan, Mas Awang duduk bersebelahan dengan Aji. Kami berempat berkumpul di kantin Fisipol UGM. Hujan belum reda juga. Mari kita ngobrolin orang, yuk—di catatan ini. Hmmm... kantin sore ini tidak begitu penuh. Padahal hujan. Mungkin karena sudah menjelang sore. Di meja depan saya, di belakang Mas Awang, ada dua pasangan yang sedang makan mie ayam. Cewenya saja yang makan. Si cowok hanya minta-minta. Si cewek pun sukarela membagi mie ayamnya. Yang paling mencolok: ceweknya cantik. Tapi... cowoknya, di pipinya ada tahi lalat. Bajunya mirip kostum Elvy Sukaesih di film Dono Kasino Indro—penuh bunga-bunga. Hohoho... dan tepat saat paragraf ini berakhir, mereka pun pulang. Mie ayamnya sudah habis. Beralih ke meja sebelah. Lagi-lagi pasangan. Perasaan, banyak sekali yang pacaran. Mungkin karena hujan. Barusan saya melihat si c...