Benang Emas Anita dan Johari
Benang Emas Anita dan Johari
Anita binti Sobandi, selamanya seperti itu. Beberapa menit yang lalu meninggal dunia.
Semua anak laki-laki kampung Cikadongkewang dikumpulkan di rumah Sobandi.
Bukan untuk menyaksikan terbujur kakunya Anita.
Namun, untuk memperjelas bahwa Anita seperti itu akibat ulah mereka.
Tahu apa anak-anak itu tentang Anita yang Syawal depan akan menikah?
Tahu apa anak-anak itu tentang kedatangan Izroil di langit burit Ramadhan?
Yang mereka tahu hanya ...
menarik dan mengulur waktu ngabuburit lewat layangan.
Mereka hanya tahu sedang bermain di bulan puasa.
Sumpahnya saja mereka tidak tahu apa-apa. Sumpahnya.
Johari! teriak Rian.
Anak yang baru naik kelas empat SD itu ditunjuk-tunjuk sebagai biang keroknya.
Dia yang mengundang Izroil.
Dia, Bu. Pak. Dia. Bukan kami.
Anita? Johari. Anita? Johari. Anita? dan Johari lagi yang disebut.
Semua anak-anak fasih mengucapkan nama Johari tatkala ada tamu yang melawat.
Johari tidak menjawab. Hanya tertunduk. Layangan jagoannya bermotif ALLOH masih ia pegang erat.
Orang tuanya berkoar-koar membela.
Sumpahnya saja mereka tidak pernah mengajarkan hal buruk pada anaknya. Sumpahnya.
Sobandi, baru tiba dari sawah setelah dikabari Rustandi.
Siapa?! Siapa yang melakukan ini?!
Sobandi marah. Sesekali ia colong murkanya Tuhan.
Ia akan cabut nyawa siapa pun yang mencabut nyawa anaknya.
Nyawa dibayar nyawa. Sekali lagi: Siapa?!
Johari!! teriak Rian.
Anak yang baru naik kelas empat SD itu menunjuk teman sebangkunya sebagai biang kerok.
Dia yang mengundang Izroil.
Dia, Bu. Pak. Dia. Bukan kami.
Anita? Johari!! Anita? Johari!! Anita? Lagi dan lagi, Johari yang disebut lagi.
Sumpahnya saja ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Sumpahnya.
Sobandi terdiam. Menahan amarahnya yang berat.
Tangannya berkali-kali mengusap wajah hitamnya yang dongkol.
Bercak emas terlihat di telunjuknya. Sisa dari benang emas yang ia buat tadi pagi.
Kali ini, tidak akan ada yang mengalahkan benangku. Katanya kepada Aminah.
Istrinya hanya tersenyum. Melihat suaminya sebelum lebaran ini, bermain hobi lamanya.
Daripada siang-siang tidur tidak ada kerjaan, daripada besok-besok pensiun tidak sehat,
Bermain layangan pun pasti ada manfaatnya. Tadi pagi.
Sobandi mendekati Anita.
Melihat leher anaknya yang kata Rustandi, ayah Rian, parah akibat benang layangan yang menjuntai di jalan kampung.
Kencang mungkin Anita berkendara motor. Juntai benang layangan yang kalah itu lantas ...
SRrrtttttt !!!
Sobandi terdiam. Menahan amarah yang kian memberat.
Tangannya berkali-kali mengusap wajah hitamnya yang semakin dongkol.
Bercak emas masih ada di telunjuknya. Sisa dari benang emas yang ia buat tadi pagi.
Kali ini, tidak akan ada yang mengalahkan benangku. Masih terngiang jemawa itu.
Dirinya hanya tertegun. Melihat anaknya sebelum lebaran ini, tidak akan pernah bersuami.
Ia pamit pada istrinya: Daripada siang-siang tidur tidak ada kerjaan, daripada besok-besok pensiun tidak sehat,
Ia pamit pada istrinya: bermain layangan pun pasti ada manfaatnya. Tadi pagi.
Sobandi mendekati Johari.
Anak yang di tangannya membawa layangan bercorak ALLOH. Tak salah lagi.
Tak salah lagi. Sobandi bertambah dongkol. Ia akan terus mengingatnya. Jelas.
Bocah ini yang membuat layangannya kalah.
Johari tak salah. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia akan bersumpah demi ALLOH yang selalu bersamanya.
Sumpahnya ia melihat bercak emas pada leher Anita.
Ia bersumpah demi ALLOH yang tidak pernah kalah. Sumpahnya.
Garut, 4 Juli 2014
puisi
0 comments:
Post a Comment