Posts

Showing posts from September, 2011

Menangkis "Bola" Nyasar

Tempo hari, saat saya memasuki kawasan Golf Ngamplang di kota kelahiran saya, Garut—tentunya bukan untuk bermain golf—saya sempat dibuat cemas oleh beberapa plang peringatan yang dipasang di sejumlah titik. Hari itu, saya menemani seorang teman yang ingin mengobati rasa penasarannya berfoto-foto di sekitar lapangan golf. Maklum, kamera barunya masih ingin “unjuk gigi” di tempat yang belum pernah dijelajahi. Bagi kami, lapangan golf adalah sesuatu yang asing sekaligus istimewa. Hamparan rumput hijau yang luas, kontur tanah yang bergelombang, dan udara sejuk pegunungan menciptakan suasana yang tenang namun tetap menyimpan ketegangan. Namun, di balik ketakjuban itu, saya dihantui rasa waswas oleh plang bertuliskan: “Awas Bola Nyasar.” Sepanjang pengambilan foto, mata saya terus siaga, berjaga-jaga kalau-kalau ada bola putih yang tiba-tiba “mencium” kepala kami. Apalagi, kata teman saya, bukan rumah sakit yang akan dituju jika bola seukuran buah sawo itu jatuh dengan kecepatan penuh, m...

Sok Betul

Catatan Sabtu Kemarin Kemarin, semangat saya untuk pergi ke sidang Jumat sempat kandas. Setelah belasan menit menunggu, Jumatan belum juga dimulai. Ada apa ini? Para jamaah saling menatap heran satu sama lain, entah mengapa sidang Jumat belum juga dibuka. Suara azan sudah terdengar dari masjid di ujung sana, bahkan di penjuru lain sudah ada yang memulai khutbah. Akhirnya, yang ditunggu datang juga. Khatib naik ke atas mimbar dan segera membuka sidang Jumat dengan salam. Muazin yang sedari tadi tampak tak sabar pun langsung menyalakan mikrofon dengan semangat. Azan pun berkumandang. Semangat saya kembali tertarik dengan materi khutbah Jumat di Masjid Al-Muslimun yang masih saya ingat. Kebetulan, temanya sangat populer. Isi khutbah kemarin berkaitan dengan tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan pertolongan dari Allah SWT, pada hari di mana tidak ada satu makhluk pun yang mampu memberi pertolongan, kecuali pertolongan dari-Nya: Pemimpin yang adil Pemuda yang tumbuh da...

Dkk.

Image
Judul                   : Dkk. Pengarang     : Sae Jamuga (Yoga Sudarisman) Tahun             : 2011 Bagian 1 - Garut - Jakarta Bagian 2 - Diari Ibro Bagian 3 - An-Nisaa Bagian 4 - Nausea Vomitus Bagian 5 - Maba Bagian 6 - Dimulai Bagian 7 - Tidur Bagian 8 - Sanggar Ayu Bagian 9 - Dunia Kupu-Kupu Bagian 10 - Technosexual Bagian 11 - 18 Bagian 12 - Raka Bagian 13 - Win.Am3l.B Bagian 14 - Master of Love Bagian 15 - Sastrawan Gadungan Bagian 16 - Penakluk Auditorium Bagian 17 - Basis Ciputat Bagian 18 - Metamorfosis 

Tua itu Pasti, Dewasa itu Pilihan

Mungkin kalian pernah mendengar judul di atas: Menjadi tua itu pasti, sedang menjadi dewasa adalah pilihan. Benar adanya, saat manusia divonis oleh hitungan umur dan putaran waktu, maka tua adalah suatu kepastian. Lain halnya saat kita berbicara tentang kedewasaan. Ia tidak ditentukan oleh usia, bukan pula oleh zaman. Dewasa itu ada di sana—di kepalamu, Nak. Ada banyak cara orang tua agar anak-anaknya tumbuh dewasa. Kita mengenal istilah proses pendewasaan , yakni usaha atau cara untuk menjadikan seseorang lebih matang. Namun, apakah semua proses berujung pada hasil yang diharapkan? Kadang iya, kadang tidak. Itulah sebabnya saya katakan: dewasa itu ada di kepalamu. Kamu yang mengendalikan. Kamu yang memilih. Kamu yang menentukan—mau dewasa atau tidak. Hey, dengarkan saya! Proses penuaan adalah usaha untuk menjadi tua. Tapi saya kira, di dunia ini tak ada yang sengaja menjalani proses itu. Kecuali jika terpapar radiasi nuklir yang katanya bisa menyebabkan penuaan dini. Ja...

Proposal

Catatan Hari Pertama di Yogyakarta Sesuatu yang baru, boleh jadi menyenangkan hati—hingga lupa makan, minum, ibadah, atau aktivitas lainnya. Namun, apakah sesuatu yang baru akan selamanya terasa baru? Saya jadi teringat masa kecil, saat dihadiahi sepeda oleh orang tua tepat setelah gigi saya dicabut. Kesepakatannya sederhana: boleh gigi saya dicabut, asal dibelikan sepeda. Haha, masa kecil memang penuh negosiasi polos. Tapi sebenarnya bukan itu yang ingin saya suguhkan dalam catatan ini. Ini adalah catatan hari pertama saya di Kota Yogyakarta, setelah dua bulan pulang kampung. Tangis saya terhenti saat Bapak membawa saya ke toko sepeda. Dengan mulut yang tak henti meludah karena gigi titipan Tuhan baru saja dicabut oleh dokter klinik, saya tersenyum dalam hati dan langsung berlagak layaknya seorang raja. Saya ditawari ini-itu, diberikan pilihan untuk menyenangkan hati: “Ingin sepeda yang mana?” Singkat cerita, saya kembali ke rumah dengan senyum sok ramah. Ingin rasanya be...

Kita Bukan Ponari

Menelisik berbagai acara hiburan di televisi, termasuk beberapa kuis, entah mengapa saya merasa bangga dengan perkembangan kuis-kuis yang kini semakin bernuansa pengetahuan. Permainan yang ditawarkan tidak lagi sekadar hiburan kosong, tetapi mulai mengasah kecerdasan. Sebagai contoh, saya hampir tak pernah ketinggalan menonton acara kuis Siapa Paling Berani yang dipandu Helmi Yahya dan Fenita Arie. Baru-baru ini, saya juga tertarik dengan kuis Ranking 1 yang dipandu Ruben Onsu dan Sarah Sechan. Jauh berbeda dari kuis-kuis lama yang cenderung bernuansa perjudian angka demi rupiah. Menjawab “sepakat” dapat lima juta, “tidak sepakat” dapat sepuluh juta, atau bahkan dongkol karena gorden yang terbuka hanya berisi sandal jepit beda warna—alias zonk. Lain tirai, lain kuis. Kuis yang sekarang menuntut kecerdasan kognitif untuk mendapatkan selebaran rupiah. Tantangan yang terasa lebih edukatif. Contoh pertanyaan menuju satu juta rupiah: Bagai ...... sembilu. Saya, Ibu, dan Bapak ...

Kedisiplinan Kelik

Masih ingat dengan status Facebook subuh-subuh, saat saya kaget membuka SMS yang masuk malam sebelumnya dari seseorang yang di daftar kontak saya saya beri nama “Drs. Kelik”? Saya benar-benar terkejut. Isi SMS itu menyatakan bahwa ia ingin menemui saya di Pos Purwosari, Solo. Padahal saya sedang berada di Garut. Kuliah saya? Di Yogyakarta. Hellooowww. Oh iya, Kelik adalah nama bapak kos saya—sosok yang super duper perhatian. Terutama dalam urusan yang satu ini: pembayaran uang kosan. Masa kontrak kamar saya habis pertengahan September. Namun sejak bulan Mei, saya sudah mulai ditagih. Saya mendapati surat penagihan tergeletak di bawah pintu kamar. Peringatan pertama saya abaikan. Beberapa minggu kemudian, peringatannya semakin intens. Tidak lagi diketik, melainkan ditulis tangan, lengkap dengan banyak tanda seru—tanda baca yang paling tidak saya sukai, baik dalam SMS maupun surat. CAMKAN ITU!!! Akhirnya saya menelepon beliau. Saya menjelaskan bahwa masa kontrak kamar say...

EKRANISASI: Adaptasi Novel ke Film

Hal-hal yang harus diperhatikan saat ingin menganalisis adaptasi novel ke dalam film dengan pendekatan sastra bandingan menurut George Bluestone: SISTEM NOVEL Medium Bahasa Pembaca Terbatas Diproduksi oleh Pengarang (campur tangan terbatas Editor) Relatif bebas sensor Bentuk Diskursif  FILM Medium Visual (mata telinga, situasi) Pembaca/konsumen : massal Diproduksi oleh Industri Mengikuti kode-kode terkait Bentuk Presentasi STRUKTUR Plot => event Character, Characterization Setting Point of View, Vocalization Theme Analisis naratif bersifat menyeluruh dan dalam rangka fungsi. KONSUMSI Teks Novel yang dibaca, Tayangan Film yang ditonton Penonton dengan latar sosial budaya, latar pengetahuan tentang novel dan film   Tindak Pembacaan Hasil Pembacaan APRESIASI : dari visual image dan mental image  Positif Negatif Yoga Sudarisman 10/305767/PMU/6562

Karena Masalah, Kita Hidup.

Oke. Kembali bercerita. Pagi tadi, saya mengantarkan Ibu dan adik-adik ke Terminal Garut. Rencananya mereka akan bertandang ke rumah adik pertama saya yang berlebaran di Kota Hujan. Suasana terminal masih ramai—maklum, masih dalam masa arus balik. Ada arus mudik, ada arus balik. Namun, menurut beberapa sumber, arus balik justru lebih padat. Kalau hal ini diumpamakan dalam ibadah, tentu cukup mengkhawatirkan: orang yang “pulang kampung” demi kembali fitri kalah jumlah dengan mereka yang kembali ke rutinitas duniawi. Oh, semoga itu hanya perumpamaan yang keliru. Lupakan soal itu. Bukan itu yang ingin saya ceritakan. Saya tertarik dengan hari ini—dengan orang-orang yang saya temui. Semuanya punya urusan masing-masing. Subhanallah, jarang sekali saya menyadari hal itu. Dimulai dari usaha saya berjejalan untuk membooking posisi di jok pertama bus Primajasa, karena Ibu tidak mau duduk di belakang. Sampai pada urusan terakhir: seorang teman yang baru sadar bahwa STNK-nya sudah lama ...

Kp. Hawa, Kec. Adam.

Tak sengaja semalam saya menonton acara komedi di salah satu stasiun TV swasta berjudul Kampung Hawa . Yang menarik perhatian saya adalah soundtrack penutupnya, kurang lebih begini: Setiap kota punya ibu, tapi tak punya bapak. Setiap negara punya ibu, juga tak punya bapak. Hari pun ada ibunya, tapi tidak memiliki bapak. Surga di telapak kaki ibu, bukan di telapak kaki bapak. ...selebihnya menjelaskan isi acara itu sendiri: pujian-pujian terhadap keunggulan Hawa. Apa yang saya tangkap dari lirik-lirik tersebut bukanlah kebetulan. Sosok ibu memang sangat berpengaruh dalam kehidupan dunia ini. Terlebih, menurut saya sebagai orang Indonesia, tanah air ini lambat laun menganut paham matriarkat. Peran bapak tidak lagi begitu dominan. Hadeuh... tapi cukup merisaukan, ya? Oke, kita lupakan soal itu. Sebenarnya saya hanya ingin kembali melatih gerak motorik otak saya dalam menyusun kata-kata. Saya ingin menulis, walau arah dan tujuannya belum tentu. Allah menciptakan manusia se...

Syahadat Moyan

Image
 

Huru Hara Kiri

Baru kemarin, keluarga di rumah membuka obrolan ringan tentang kehidupan. Salah satu hal yang dianggap paling berat, bahkan bisa menimbulkan stres, adalah saat kita menjalani hidup dengan terus-menerus mengharapkan pujian dari orang lain. Menanti penilaian orang. Bisa dipastikan, orang semacam ini ke mana pun melangkah, pikirannya hanya dipenuhi oleh apa yang diinginkan orang lain demi sebuah “nilai” atau prestise. Ujung-ujungnya, ia hanya mengekor pada kehidupan orang lain. Jelas, ini adalah bentuk kehidupan yang paling buruk menurut saya. Saya teringat obrolan teman-teman kampus beberapa bulan silam, masih dengan topik yang sama: tentang kehidupan. Tak jauh berbeda dengan pesan keluarga, teman-teman saya juga berpikiran serupa. Kehidupan yang merugi adalah saat kita terus memikirkan pencapaian orang lain. Apa yang mereka raih, kita tulis. Apa yang mereka dapatkan, kita catat. Tujuannya? Hanya untuk dibandingkan dengan apa yang telah kita peroleh. Saya mengamini komentar m...

It's not a note

Memang, tak selamanya hidup berada di atas. Sudah seharusnya kita merasakan hidup di bawah. Waktu lengang tak akan selamanya kita nikmati; pasti akan datang saat-saat menghimpit. Ada kalanya kita sehat, lalu sejam kemudian bisa saja dilarikan ke UGD. Semua sudah ada yang mengatur. Hikmahnya: agar kita merasakan segala hal di dunia ini. Itulah kasih sayang Allah—adil. Saya teringat ucapan seorang filsuf yang mengatakan bahwa manusia itu terbagi dalam beberapa golongan: Ada yang tahu bahwa dirinya tahu. Ada yang tahu, tapi tidak sadar bahwa dirinya tahu. Ada yang tidak tahu bahwa dirinya sebenarnya tahu. Dan yang paling parah: ada yang tidak tahu, tapi juga tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Saya sedang berada di mana sekarang? Apakah saya tahu dengan apa yang sedang saya kerjakan? Dengan apa yang saya pikirkan? Ataukah saya tidak tahu dengan apa yang sedang dibicarakan? Ataukah saya tidak ingin tahu karena memang saya tidak tahu? Ataukah saya tahu, dan memang saya tahu...

Dilema Kecil

Tanggal 3 Juli 2011 adalah terakhir kali saya menulis. Semuanya sudah jelas. Sejak berada di rumah, saya didera rasa malas. Bagi saya, catatan adalah luapan emosi dari sebuah rasa yang muncul saat tidak ada seorang pun teman di samping. Di kosan, saya begitu semangat menuliskan berbagai fenomena yang saya alami. Mengapa? Tak lebih karena tidak ada teman untuk berbagi cerita. Di rumah, pendengar setia saya tentu adalah keluarga sendiri. Tak ada lagi unek-unek yang perlu saya luapkan lewat ujung jari. Tapi kini... Tepat dua bulan lalu, saya dihadapkan pada sesuatu yang terasa ‘aneh’. Saya ingin bermain di dalamnya, tapi saya tahu ini bukanlah permainan. Jujur, saya belum siap untuk memasukinya. Namun saat saya menyadari belum siap, ternyata saya sudah terlanjur termakan oleh situasi dilematis. Perfect! Mungkin kamu pernah mendengar tentang kondisi seperti ini: Ingin bermain, tapi ragu dengan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Atau sebaliknya, tidak ingin bermain, ta...

Jangan Mendompleng Kemusyrikan

Jika masih mengikuti perkembangan kecelakaan yang menimpa Syaiful Jamil dan almarhumah istrinya, berita terbaru yang beredar—baik di dunia maya, infotainment, maupun siaran berita lainnya—banyak membahas peristiwa aneh yang terjadi di lokasi kejadian, Tol Cipularang KM 97. Saya sama sekali tidak ingin ikut-ikutan seperti kebanyakan masyarakat Indonesia yang terus-menerus menjadikan KM 97 sebagai bahan perbincangan. Yang ingin saya soroti di sini adalah: mengapa sebagian besar masyarakat kita justru terhibur dengan peristiwa-peristiwa aneh, seperti foto-foto makhluk halus yang seolah ingin mendompleng ketenaran Syaiful? Saya menulis ini karena melihat beberapa acara televisi akhir-akhir ini, juga forum-forum di dunia maya, yang lebih menyoroti sisi mistis dari kejadian tersebut. Topik yang diangkat berkisar pada keangkeran lokasi kejadian. Dan seperti gayung bersambut, animo masyarakat serta komentar-komentar pun begitu ramai terdengar. Ini menjadi bukti bahwa kita menonton, menyi...

I'm Done

Edy Hidayat: “FS lo mang knapa jon??” 6 Desember 2008, pukul 03.38 WIB Itulah kalimat pertama dari orang yang pertama kali saya tambahkan sebagai teman, sebelum benar-benar masuk ke dunia Facebook. Sebelumnya, saya sempat ikut meramaikan situs Friendster (FS), yang kabarnya kini telah dibeli oleh Malaysia. Namun, saya tidak begitu nyaman dengan FS, hingga akhirnya memutuskan pindah ke jejaring sosial yang mulai ramai di Indonesia sejak tahun 2006: Facebook. Catatan ini mungkin tidak terlalu penting bagi kalian, tentang bagaimana sepak terjang saya di dunia Facebook. Tapi bagi saya, ini adalah jejak awal yang cukup berkesan. Saya bergabung dengan Facebook pada akhir November 2008, dan beberapa teman pertama yang saya tambahkan (Assābiqūnal Awwalūn) adalah: Edy Hidayat dan Mirza Faradly. Edy adalah teman sekelas saya saat di Ciputat. Ia sudah lama aktif di berbagai situs jejaring sosial seperti Friendster, Facebook, dan MySpace—entah kalau Twitter. Ia seorang musisi handal. E...